Diposting oleh
Unknown
di
00.11
Akal manusia
mampu membuktikan kebenaran suatu hal yang berada di luar jangkauannya, jika
ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti
perkataan seorang Baduy (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya “Dengan apa
engkau mengenal Rabbmu ?” Jawabnya :
“Tahi
onta itu menunjukkan adanya onta, dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada
orang yang berjalan. “
Oleh
karena itu, ayat-ayat Al-Quran adalah bukti eksistensi Allah (tentang adanya
al-kholiq/Sang pencipta) dengan cara mengajak manusia memperhatikan
makhluk-makhluk-Nya. Sebab kalau akal diajak untuk mencari Dzat-Nya maka tentu
saja akal tidak mampu menjangkaunya, seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya
pada langit dan bumi benar-benar terdapat kekuasaan Allah untuk orang-orang
yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang
bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
meyakini.” (QS. Al-Jaatsiyat: 3-4).
Karena
keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir
langsung tentang dzat Allah sudah berada di luar kemampuan akal untuk
menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia
hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT
dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
“Berfikirlah kamu tentang makhluk
Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang dzat Allah, sebab kamu tidak akan
sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya” (HR.
Abu Nu’im dalam Al-Hidayah, sifatnya marfu’, sanadnya dhoif tetapi isinya
shohih).
Akal
manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang dzat Allah yang
sebenarnya, bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas
Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur
atau dianalisa. Ia tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun. Semisal manusia,
makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Dengan
demikian beriman kepada keberadaan (wujud) Allah diperoleh dengan jalan berfikir/aqli. Dengan berfikir dan melakukan
perenungan yang mendalam akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa segala sesuatu
itu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya. Hal ini dapat diterangkan
sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal
terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ketiga
unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah, kurang, dan saling membutuhkan
kepada yang lain. Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan
berkembang tergantung kepada yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat
dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari
‘ketiadaannya’ sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya.
Begitu
pula dengan kehidupan, ia bersifat terbatas pula, sebab
penampakkan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita
saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu
individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula
halnya dengan alam semesta. Ia pun bersifat terbatas. Sebab alam semesta itu
hanyalah merupakan himpunan benda-bneda di bumi dan di angkasa dimana setiap
benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas
dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta itu pun bersifat
terbatas. Kini jelaslah bahwa AMK, ketiganya bersifat terbatas (termasuk
memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Apabila
kita melihat kepada segala hal yang bersifat terbatas, akan didapati bahwa
segala hal tersebut tidak azali (azali tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab
apabila ia azali bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak,
keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya pencipta yang
mengadakannya, atau mewajibkan adanya ‘sesuatu yang lain’. Dan ‘sesuatu yang
lain’ inilah Al-kholiq yang menciptakan AMK.
Sesungguhnya
bagi setiap orang yang mempunyai akal, hanya dengan perantaraan wujud
benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda-
benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab dapat disaksikan
bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling
membutuhkan kepada yang lain. Yakinlah bahwa semua hanyalah makhluk. Oleh
karena itu, untuk membuktikan adanya Al-Kholiq yang Maha Pengatur, sebenarnya
cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta,
kehidupan, dan di dalam manusia itu sendiri.
Oleh
karena itu dijumpai bahwa Al-Quran senantiasa melontarkan pandangannya kepada
benda-benda yang ada di sekitar manusia sambil mengajak menusia untuk turut
mengamatinya serta mengamati segala yang ada di sekelilingnya dan apa yang
berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan
mengamati benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan manusia
terhadap adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa
adanya keraguan. Di dalam Al-Quran telah dibeberkan banyak ayat yang berkenaan
dengan hal ini, antara lain firman Allah:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi , dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi
orang yang berakal. “ (QS. Ali Imran : 190).
Juga firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan warna
kulitmu.” (QS. Ar-Rum: 22).
Serta
firman-Nya yang lain seperti Q. S. Al-Ghaasiyah : 17-20 juga Ath-Thariq : 5-7
atau juga firman-Nya yang berikut:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air dan
awan yang dikendalikan antar langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu
terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS.
Al-Baqarah : 164).
Ditambah
lagi dengan ayat-ayat lain yang serupa, yang mengajak manusia untuk
memperhatikan dengan seksama terhadap benda-benda alam, serta melihat apa yang
ada di sekelilingnya dan yang berhubungan dengannya (dari segi keberadaannya)
untuk dijadikan petunjuk atas adanya Pencipta yang Maha Pengatur. Sehingga
dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar
dari akal dan bukti.
Adapun
beriman kepada sifat-sifat dan asmaul husna Allah didapatkan dengan cara naqli/wahyu. Perkara ini tidak bisa
dijangkau langsung oleh panca indra, akan tetapi membutuhkan sejumlah ma’lummat
(informasi), yakni wahyu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar