jahiliyah

Adat Bangsa Arab Jahiliyah Bag. 1

Sesungguhnya, masa fatrah (masa tidak adanya rasul) terus berlangsung di tengah bangsa Arab dalam jangka waktu yang begitu panjang, tanpa turunnya wahyu ilahi dan tidak pula ada pengemban hidayah (hidayah al-irsyad). Kurun waktu itu terjadi antara masa kenabian Ismail ‘alaihissalam dan masa kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sang penutup para nabi. Oleh sebab itu, beragam adat kebiasaan buruk pun mulai bermunculan di tengah masyarakat Arab jahiliah. Adat kebiasaan baik yang dahulunya ada, akhirnya tertutupi oleh adat kebiasaan buruk yang mulai mendominasi.
Kali ini, kita akan mengenal bermacam adat buruk maupun adat baik yang mewarnai kehidupan bermasyarakat bangsa Arab jahiliah pada masa fatrah. Dengan mengetetahuinya, mudah-mudahan kita menjauhi kebiasaan buruk mereka serta melestarikan kebiasaan baik mereka. Kita memuji Allah dan memanjatkan rasa syukur mendalam kepada-Nya atas nikmat Islam yang dicurahkan-Nya.
Adat buruk bangsa Arab jahiliah
  1. Al-qimar (judi), atau yang lazim dikenal dengan istilah “al-maysir. Merupakan kebiasaan penduduk kota-kota di kawasan jazirah, seperti Makkah, Thaif, Shan’a, Hajar, Yatsrib, Daumatul Jandal, dan sebagainya. Islam melarang kebiasaan semacam ini melalui turunnya surat Al-Maidah ayat 90,
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
    Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.
    (Q.s. Al-Maidah: 90)
  2. Menenggak khamr dan berkumpul-kumpul untuk minum khamr bersama, bangga karenanya, serta memahalkan harganya. Ini merupakan kebiasaan orang-orang kota dari kalangan hartawan, pembesar, dan pujangga sastra. Ketika kebiasaan ini mengakar kuat di tengah mereka dan bertakhta di hati mereka, Allah mengharamkannya secara perlahan-lahan, setahap demi setahap. Ini merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya. Karenanya, bagi-Nya segala puji dan segala kebaikan.
  3. Nikah istibdha’. Jika istri dari salah seorang lelaki di antara mereka selesai haid kemudian telah bersuci maka lelaki termulia serta paling bagus nasab dan tata kramanya di antara mereka boleh meminta wanita tersebut. Tujuannya, agar sang wanita bisa disetubuhi dalam kurun waktu yang memungkinkannya melahirkan anak yang mewarisi sifat-sifat kesempurnaan si lelaki yang menyetubuhinya tadi.
  4. Mengubur hidup-hidup anak perempuan. Seorang laki-laki mengubur anak perempuannya secara hidup-hidup ke dalam tanah, selepas kelahirannya, karena takut mendapat aib. Dalam Alquran Alkarim terdapat penentangan terhadap perilaku semacam ini serta penjelasan tentang betapa kejinya perilaku ini. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya celaan keras terhadap pelakunya pada hari kiamat. Allah Ta’ala berfirma dalam surat At-Takwir,
    وَإِذَا الْمَوْؤُودَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنبٍ قُتِلَتْ
    Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (Q.s. At-Takwir: 8—9)
  5. Membunuh anak-anak, baik lelaki maupun perempuan. Kekejian ini mereka lakukan karena takut miskin dan takut lapar, atau mereka sudah putus harapan atas bencana kemiskinan parah yang melanda, bersamaan dengan lahirnya si anak di wilayah yang merasakan dampak kemiskinan tersebut. Kondisi ini terjadi karena tanah sedang begitu tandus dan hujan tak kunjung turun. Setelah Islam datang, Islam mengharamkan adat keji nan buruk seperti ini, melalui turunnya firman Allah Ta’ala,
    وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
    Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.”
    (Q.s. Al-An’am: 151)
    وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم
    Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
    (Q.s. Al-Isra’:31)
    Yang dimaksud dengan “imlaq” adalah kemiskinan yang begitu parah serta begitu memprihatinkan.
  6. Wanita berdandan ketika keluar rumah, dengan tujuan menampakkan kecantikannya, pada saat dia lewat di depan lelaki ajnabi (lelaki yang bukan mahramnya). Jalannya genit, berlemah gemulai, seakan-akan dia memamerkan dirinya dan ingin memikat orang lain.
  7. Wanita merdeka menjadi teman dekat lelaki. Mereka menjalin hubungan gelap dan saling berbalas cinta secara sembunyi-bunyi. Padahal si lelaki bukanlah mahram si wanita. Kemudian Islam mengharamkan hubungan semacam ini, dengan diturunkannya firman Allah Ta’ala,
    وَلاَ مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ
    … Dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya ….
    (Q.s. An-Nisa’: 25)
    Padahal si wanita bukanlah mahram si lelaki. Kemudian Islam mengharamkan hubungan semacam ini,
    وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
    … Dan tidak (pula lelaki) yang memiliki gundik-gundik ….
    (Q.s. Al-Maidah: 5)
  8. Menjajakan para budak perempuan sebagai pelacur. Di depan pintu rumah si budak perempuan akan dipasang bendera merah, supaya orang-orang tahu bahwa dia adalah pelacur dan para lelaki akan mendatanginya. Dengan begitu, budak perempuan tersebut akan menerima upah berupa harta yang sebanding dengan pelacuran yang telah dilakukannya.
  9. Fanatisme golongan. Islam datang memerintahkan seseorang menolong saudaranya sesama muslim, dekat maupun jauh, karena “al-akh” (saudara) yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah saudara seislam. Oleh sebab itu, pertolongan kepadanya –jika dia dizalimi– adalah dengan menghapuskan kezaliman yang menimpanya. Adapun pertolongan yang diberikan kepadanya kala dia berbuat zalim berupa tindakan melarang dan mencegahnya agar tak berbuat zalim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (dalam riwayat Bukhari),
    انصر أخاك ظالما أو مظلوما. فقيل: يا رسول الله أنصنره إذا كان مظلوما فكيف أنصره إذا كان ظالما؟ قال: تحجزه عن الظلم.
    Tolonglah saudaramu, baik dia menzalimi ataupun dizalimi.” Kemudian ada yang mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami akan menolongnya (saudara kami) jika dia dizalimi, maka bagiamana cara kami akan menolongnya jika dia menzalimi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau mencegahnya supaya tak berbuat zalim.”
  10. Saling menyerang dan memerangi satu sama lain, untuk merebut dan merampas harta. Suku yang kuat memerangi suku yang lemah untuk merampas hartanya. Yang demikian ini terjadi karena tidak ada hukum maupun peraturan yang menjadi acuan pada mayoritas waktu di sebagian besar negeri. Di antara perperangan mereka yang paling terkenal adalah:- Perang Dahis dan Perang Ghabara’ yang berlangsung antara Suku ‘Abs melawan Suku Dzibyan dan Fizarah; - Perang Basus, sampai-sampai dikatakan, “Perang yang paling membuat sial adalah Perang Basus yang berlangsung sepanjang tahun. Perang ini terjadi antara Suku Bakr dan Taghlub;”
    - Perang Bu’ats yang terjadi antara Suku Aus dan Khazraj di kota Al-Madinah An-Nabawiyyah;
    - Perang Fijar yang berlangsung antara Qays ‘Ilan melawan Kinanah dan Quraisy. Disebut “Perang Fijar” karena terjadi saat bulan-bulan haram. Fijar (فِجار ) adalah bentukan wazan فَعَّال dari kata fujur (فجور ); Mereka telah sangat mendurhakai Allah (sangat fujur) karena berani berperang pada bulan-bulan yang diharamkan untuk berperang.
  11. Enggan mengerjakan profesi tertentu, karena kesombongan dan keangkuhan. Mereka tidaklah bekerja sebagai pandai besi, penenun, tukang bekam, dan petani. Pekerjaan-pekerjaan semacam itu hanya diperuntukkan bagi budak perempuan dan budak laki-laki mereka. Adapun bagi orang-orang merdeka, profesi mereka terbatas sebagai pedagang, penunggang kuda, pasukan perang, dan pelantun syair. Selain itu, di tengah bangsa Arab jahiliah tumbuh kebiasaan berbangga-bangga dengan kemuliaan leluhur dan jalur keturunan.
  12. Bersambung, insya Allah ….
    Marji’: Hadza Al-Habib Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Ya Muhib, karya Syekh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Darul Hadits, Kairo.
    ***

    Penulis: Ummu Asiyah Athirah
    Muroja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Jagalah Keluargamu dari Neraka

بسم الله الرحمن الرحيم
Banyak orang yang mendambakan kebahagiaan, mencari ketentraman dan ketenangan jiwa raga sebagaimana usaha menjauhkan diri dari sebab-sebab kesengsaraan, kegoncangan jiwa dan depresi khususnya dalam rumah dan keluarga.
Urgensi Pembinaan Rumah Tangga Islami
Diantara hal yang terpenting yang mempengaruhi terwujudnya kebahagian pada individu dan masyarakat adalah pembinaan keluarga yang istiqamah diatas ajaran Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah telah menjadikan rumah tangga dan keluarga sebagai tempat yang disiapkan untuk manusia merengkuh ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan sebagai anugerah terhadap hambaNya.
Untuk itulah Allah berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Qs. Ar-Rum [30]:21)
Dalam ayat yang mulia ini Allah firmankan: (لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا) bukan (لِّتَسْكُنُوا مَعَهَا). Hal ini menunjukkan pengertian ketentraman dalam prilaku dan jiwa dan merealisasikan kelapangan dan ketenangan yang sempurna. Sehingga hubungan pasutri itu demikian dekat dan dalamnya seakan-akan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Allah jelaskan hal ini dalam firmanNya,
“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (Qs. Al-Baqarah [2]:187)
Apalagi bila hubungan ini ditambah dengan pembinaan dan pendidikan anak-anak dalam naungan orang tua yang penuh dengan rasa kasih sayang. Adakah nuansa dan pemandangan yang lebih indah dari ini? Hal ini menjadi penting karena perintah Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ ناراً وقودها النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عليها مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدادٌ لاَّ يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Qs. At-Tahrim [66]:6)
Ini semua menjadi tanggung jawab kita semua, sebab kita semua adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّت) متفق عليه
“Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin, wanita juga adalah pemimpin atas rumah dan anak suaminya. Sehingga seluruh kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin.” (Muttafaqun alaihi)
Dalam hadits diatas, jelaslah Allah telah menjadikan setiap orang menjadi pemimpin baik skala bangsa, umat, istri dan anak-anaknya. Setiap orang akan dimintai pertanggung jawabannya dihadapan Allah. Ingatlah tanggung jawab anak dan istri adalah tanggung jawab besar disisi Allah, hal ini dengan menjaga mereka dari api neraka dan berusaha menggapai kesuksesan didunia dengan mendapatkan sakinah, mawaddah dan rahmat dan di akherat dengan masuk kedalam syurga. Inilah sesungguhnya target besar yang harus diusahakan untuk diwujudkan.
Oleh karena itu agama Islam memberikan perhatian khusus dan menetapkan kaedah dan dasar yang kokoh dalam pembentukan keluarga muslim. Islam memberikan kaedah dan tatanan utuh dan lengkap sejak dimulai dari proses pemilihan istri hingga memberikan solusi bila rumah tangga tidak dapat dipertahankan kembali.
Pembinaan keluarga ini semakin mendesak dan darurat sekali bila melihat keluarga sebagai institusi dan benteng terakhir kaum muslimin yang sangat diperhatikan para musuh. Mereka berusaha merusak benteng ini dengan aneka ragam serangan dan dengan sekuat kemampuan mereka. Memang sampai sekarang masih ada yang tetap kokoh bertahan namun sudah sangat banyak sekali yang gugur dan hancur berantakan. Demikianlah para musuh islam tetap dan senantiasa menyerang kita dan keluarga kita. Allah berfirman,
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al-baqarah [2]:217)
Hal ini diperparah keadaan kaum muslimin dewasa ini yang telah memberikan perhatian terlalu besar kepada ilmu-ilmu dunia, namun lupa atau melupakan ilmu agama yang jelas lebih penting lagi. Ilmu yang menjadi benteng akhlak dan etika seorang muslim dalam hidup, dan menggunakan kemampuannya dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan gelombang ujian dan fitnah ini. Mereka lupa membina dirinya, keluarganya dan anak-anaknya dengan ajaran syari’at Islam yang telah membentuk para salaf kita terdahulu menjadi umat terbaik didunia ini.
Memang muncul satu fenomena bahwa urgensi dan tugas orang tua sekarang hampir-hampir menjadi sempit hanya sekedar mengurusi masalah pangan dan sandang saja. Ditambah lagi bapak sibuk dan ibupun tidak kalah sibuknya dalam memenuhi sandang pangan dan mencapai karier tertinggi. Akhirnya anak-anak terlantar dan tidak jelas arah pembinaan dan pendidikannya.
Padahal orang tua memiliki pengaruh besar dalam pembentukan dan pembinaan pribadi anak. Lihatlah sabda Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam,
…. فأبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
“Lalu kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi atau Nashrani.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Karena itu diperlukan pembinaan keluarga SAMARA diatas ajaran dan bimbingan Rasululloh dan contoh para salaf sholeh terdahulu.
Mengapa Harus di Atas Ajaran Rasululloh dan Contoh Para Salaf Sholih?[ 1]
Hal ini karena itu Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mendidik manusia menjadi makhluk yang berakhlak mulia dan lepas dari kesesatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” ( Qs. al-Baqarah [2]: 151)
Demikianlah Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam membina dan mendidik para sahabatnya sehingga mereka lepas dari kebodohan dan kesesatan dan menjadi generasi terbaik, seperti dijelaskan Rasululloh dalam sabda beliau,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku kemudian yang menyusul mereka kemudian yang menyusul mereka.” (HR al-Bukhori 5/191 dan Muslim no. 2533)
Mereka menjadi manusia terbaik dibawah pembinaan pendidik terbaik Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga Mu’awiyah bin al-Hakam radhiallahu ‘anhu mengungkapkan kekagumannya terhadap Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang pendidik dalam ungkapan indahnya,
مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ رواه مسلم
“Aku tidak akan melihat seorang pendidik sebelum beliau dan sesudahnya yang lebih baik dari beliau.” (HR Muslim no. 836)
Demikianlah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan terbaik yang Allah perintahkan kita untuk mencontoh dan mengikutinya dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (Qs. al-Ahzab: 21). Dalam ayat lainnya, Allah memuji beliau dengan firmanNya.
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs al-Qalam[68]: 4)
Sehingga beliau menjadi standar dalam pendidikan dan kehidupan seluruh manusia, oleh karenanya Sufyaan bin ‘Uyainah al-Makki menyatakan: Sungguh Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah standar terbesar. Segala sesuatu ditimbang diatas akhlak, sirah dan petunjuk beliau. Semua yang sesuai dengannya maka itu adalah kebenaran dan yang menyelisihinya adalah kebatilan. [2]
Beliau dengan bimbingan dan taufiq dari Allah berhasil mendidik generasi terbaik yang telah mencapai kejayaan dan kemulian diatas dunia ini dan akan mendapatkan kebahagian mendampingi Rasululloh disyurga, yaitu generasi sahabat yang merupakan pemuka-pemuka para salaf ash-Sholih.
Setelah berlalu masa yang cukup panjang dan kaum muslimin sedikit demi sedikit melupakan generasi sahabat dan ajaran-ajaran Rasululloh yang pernah direalisasikan mereka dalam semua aspek kehidupan sehari-hari, maka lambat laum kemulian dan kejayaan tersebut akhirnya hilang dengan dipenuhinya hati kaum muslimin dengan cinta dunia. Akibatnya merekapun meninggalkan jihad di jalan Alllah . kemudian tampak pada mereka kehinaan dan kelemahan sehingga akhirnya kebidahan dan musuh-musuh mereka berhasil mencabik-cabik mereka sehingga realitanya dapat disaksikan dimasa kiwari ini.
Sudah menjadi keharusan bagi kita untuk mengetahui garis besar singkat ketentuan pendidikan di masa salaf ash-Sholih agar kita teladani di masa kita sekarang ini. Juga agar kemulian yang telah lalu dan kejayaan yang telah hilang kembali lagi kepada kita. Sebab tidak ada jalan untuk demikian kecuali dengan kembali kepada ajaran agama yang pernah difahami dan diamalkan para salaf ash-Sholih. Kembali kepada agama kita yang hanif dan ajaran-ajarannya. Inilah yang dijelaskan Rasululloh ketika menyampaikan solusi kejayaan umat ini setelah menderita kehinaan dalam sabda beliau,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Apabila kamu telah berjual beli dengan ‘Ienah (rekayasa riba), kalian memegangi ekor-ekor sapi, kalian ridho dengan pertanian dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Dia tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu Daud dan dinilai Syeikh al-Albani sebagai hadits shohih dengan berkumpulnya jalan-jalan periwayatannya (Shohih Bi Majmu’ Thuruqihi) dalam silsilah al-Ahadits ash-Shohihah no. 11)
Kembali kepada agama dalam hadits ini dijabarkan dan dijelaskan Rasululloh dalam hadits Abu Laits al-Waaqidi yang berbunyi,
إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ قَالُوْا وَ كَيْفَ نَفْعَلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ فَرَدَّ يَدَهُ إِلَى الْبِسَاطِ فَأَمْسَكَ بِهِ فَقَالَ : تَفْعَلُوْنَ هَكَذَا ! وَذَكَرَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ يَوْمًا : إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ فَلَمْ يَسْمَعُهُ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَقَالَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ : آلاَ تَسْمَعُوْنَ مَا يَقُوْلُ رَسُوْلُ اللهِ ؟! فَقَالُوْا: مَا قَالَ ؟ قَالَ : إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَة . قَالُوْا فكَيْفَ لنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟فَكَيْفَ نَصْنَعُ؟ قَالَ : تَرْجِعُوْا إِلَى أَمْرِكُمُ الأَوَّلِ
“Sesungguhnya akan terjadi fitnah. Para sahabat bertanya: Lalu bagaimana kami berbuat wahai Rasululloh? Lalu beliau mengembalikan tangannya ke permadani dan memegangnya lalu berkata: ‘Berbuatlah demikian!’
Pada satu hari Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka, ‘Sungguh akan terjadi fitnah.’
Namun banyak orang yang tidak mendengarnya. Maka Mu’adz bin Jabal mengatakan, ‘Tidakkah kalian mendengar perkataan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka menjawab, ‘Apa sabdanya?’ Maka beliau berkata, ‘Sesungguhnya akan terjadi fitnah.’ Mereka bertanya, ‘Bagaimana dengan kami wahai Rasululloh? Bagaimana kami berbuat?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kalian kembali kepada urusan kalian yang pertama.’” (HR Ath-Thobrani dan sanadnya dinilai Shohih oleh Syeikh ‘Ali Hasan dalam at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah)
Alangkah butuhnya kita dizaman ini untuk kembali kepada ajaran Rasululloh dan pemahaman para sahabat, khususnya dalam pendidikan.  Kita juga butuh untuk menjalankan dan komitmen dengan adab-adabnya dan cara mereka mengajari anak-anak mereka dan menjadikannya sebagai pedoman dan metode perilaku kita. Hal ini tidak akan terealisasi kecuali setelah kita bersandar total kepada metode al-Qur’ani dan metode Nabi n dalam ilmu, belajar dan mengajar yang telah diamalkan para salaf sholih tersebut dengan menjadikannya sebagai dasar dan menerapkannya secara benar dan menyeluruh.
Pernyataan Salaf Tentang Usaha Menjaga Keluarga dari Neraka
Berikut ini sebagian pernyataan ulama salaf seputar menjaga keluarga dari neraka:
Ad-Dhohaak dan Muqaatil menyatakan, “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajari keluarganya dari kerabat, budak wanita dan lelaki semua yang Allah wajibkan pada mereka dan yang dilarang. (lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Termasuk didalamnya memerintahkan anak-anak kecil untuk sholat. Sehingga dapat menjadi perisai diri dari neraka karena melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Ajarilah diri kalian kebaikan dan ajarilah keluarga kalian kebaikan dan didiklah mereka.
Ibnu al-Qayyim menyatakan, “Berapa banyak orang yang menyengsarakan anak dan buah hatinya di dunia dan akherat dengan acuh dan tidak mendidiknya serta membantu mereka menumpahkan syahwatnya. Dengan itu, ia menganggap telah memuliakannya padahal ia menghinakannya dan telah memberikan kasih sayangnya padahal ia telah menzholiminya. Sehingga ia kehilangan (kesempatan) memanfaatkan anaknya (untuk bekal akhiran -ed) dan anaknya pun kehilangan bagiannya di dunia dan akherat. Apabila engkau perhatikan baik-baik kerusakan pada anak-anak maka engkau dapati umumnya dari pihak bapak (Tuhafatul Maudud Fi Ahkaam al-Maulud hal 242)
Beliau juga menyatakan, “Siapa yang tidak memperhatikan pendidikan anaknya semua yang bermanfaat baginya dan meninggalkannya begitu saja, maka ia telah melakukan kejelekan yang paling besar padanya. Mayoritas anak-anak datangnya kerusakan pada mereka dari pihak bapak dan tidak perhatiannya mereka terhadap anak-anak serta tidak mengajari anak-anak kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya. Sehingga mereka telah menelantarkan anak-anak sejak kecil.
Mereka tidak dapat mengambil manfaat dari diri mereka dan orangtua mereka pun tidak dapat mengambil manfaatnya ketika telah tua. Sebagaimana ada sebagian orang tua yang mencela anaknya yang durhaka lalu sang anak menjawab, ‘Wahai bapakku engkau telah mendurhakaiku ketika aku kecil maka (sekarang) aku mendurhakaimu setelah engkau tua dan engakau telantarkan aku ketika aku masih kanak-kanak maka (sekarang) aku menelantarkanmu ketika engkau telah tua’. (Tuhfat al-Maudud bi Ahkam al-Maulud 229)
- Bersambung insya Allah -
Penulis: Ust. Kholid Syamhudi
Footnote:
[1]Diambil dari makalah penulis di Majalah Assunnah edisi 3 th XII/ 2008
[2]Tadzkirat as-Saami’ wa al-Mutakallim, Ibnu Jumaa’ah al-Kinaani hal. 21

***

IMAN KEPADA ALLOH


Akal manusia mampu membuktikan kebenaran suatu hal yang berada di luar jangkauannya, jika ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan seorang Baduy (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya “Dengan apa engkau mengenal Rabbmu ?” Jawabnya :
“Tahi onta itu menunjukkan adanya onta, dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan. “
Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Quran adalah bukti eksistensi Allah (tentang adanya al-kholiq/Sang pencipta) dengan cara mengajak manusia memperhatikan makhluk-makhluk-Nya. Sebab kalau akal diajak untuk mencari Dzat-Nya maka tentu saja akal tidak mampu menjangkaunya, seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang meyakini.” (QS. Al-Jaatsiyat: 3-4).
Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung tentang dzat Allah sudah berada di luar kemampuan akal untuk menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
“Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang dzat Allah, sebab kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya” (HR. Abu Nu’im dalam Al-Hidayah, sifatnya marfu’, sanadnya dhoif tetapi isinya shohih).
Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang dzat Allah yang sebenarnya, bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisa. Ia tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun. Semisal manusia, makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Dengan demikian beriman kepada keberadaan (wujud) Allah diperoleh dengan jalan berfikir/aqli. Dengan berfikir dan melakukan perenungan yang mendalam akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa segala sesuatu itu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah, kurang, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung kepada yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari ‘ketiadaannya’ sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya.
Begitu pula dengan kehidupan, ia bersifat terbatas pula, sebab penampakkan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula halnya dengan alam semesta. Ia pun bersifat terbatas. Sebab alam semesta itu hanyalah merupakan himpunan benda-bneda di bumi dan di angkasa dimana setiap benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta itu pun bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa AMK, ketiganya bersifat terbatas (termasuk memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Apabila kita melihat kepada segala hal yang bersifat terbatas, akan didapati bahwa segala hal tersebut tidak azali (azali tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab apabila ia azali bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya pencipta yang mengadakannya, atau mewajibkan adanya ‘sesuatu yang lain’. Dan ‘sesuatu yang lain’ inilah Al-kholiq yang menciptakan AMK.
Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai akal, hanya dengan perantaraan wujud benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda- benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab dapat disaksikan bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Yakinlah bahwa semua hanyalah makhluk. Oleh karena itu, untuk membuktikan adanya Al-Kholiq yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta, kehidupan, dan di dalam manusia itu sendiri.
Oleh karena itu dijumpai bahwa Al-Quran senantiasa melontarkan pandangannya kepada benda-benda yang ada di sekitar manusia sambil mengajak menusia untuk turut mengamatinya serta mengamati segala yang ada di sekelilingnya dan apa yang berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan mengamati benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan manusia terhadap adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa adanya keraguan. Di dalam Al-Quran telah dibeberkan banyak ayat yang berkenaan dengan hal ini, antara lain firman Allah:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi , dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal. “ (QS. Ali Imran : 190).
Juga firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan warna kulitmu.” (QS. Ar-Rum: 22).
Serta firman-Nya yang lain seperti Q. S. Al-Ghaasiyah : 17-20 juga Ath-Thariq : 5-7 atau juga firman-Nya yang berikut:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air dan awan yang dikendalikan antar langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah : 164).
Ditambah lagi dengan ayat-ayat lain yang serupa, yang mengajak manusia untuk memperhatikan dengan seksama terhadap benda-benda alam, serta melihat apa yang ada di sekelilingnya dan yang berhubungan dengannya (dari segi keberadaannya) untuk dijadikan petunjuk atas adanya Pencipta yang Maha Pengatur. Sehingga dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar dari akal dan bukti.
Adapun beriman kepada sifat-sifat dan asmaul husna Allah didapatkan dengan cara naqli/wahyu. Perkara ini tidak bisa dijangkau langsung oleh panca indra, akan tetapi membutuhkan sejumlah ma’lummat (informasi), yakni wahyu.

Iman Kepada Malaikat

Iman Kepada Malaikat


Iman kepada malaikat berdasarkan dalil naqli, sebab akal tidak pernah mampu menjangkau eksistensi/keberadaan Malaikat. Dalil syara’ tentang adanya malaikat berasal dari ayat-ayat Al-Quran dan sunnah rasul diantaranya adalah firman Allah SWT:
“Allah telah terangkan bahwasanya tidak ada ilah selain Dia, Yang menegakkan keadilan dan disaksikan oleh para malaikat dan ahli-ahli ilmu. Tidak ada Ilah selain Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana” (QS. Ali-Imran : 18).
Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah (sunguh-sungguh) kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (Ketahuilah bahwa) siapa saja kafir terhadap Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa : 136).

Iman Kepada Kitabullah


Kitab-kitab yang berasal dari firman Allah SWT seluruhnya ada empat macam, yaitu Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud as. Dan Injil yang diturunkan kepada hamba Allah dan Rasul-Nya, Nabi Isa A.s. Sementara itu firman Allah dalam bentuk shuhuf, misalnya adalah apa yang dibenarkan kepada Nabi Ibrahim a.s.
Beriman terhadap kitab Allah mempunyai sandaran yang berasal dari pemahaman dalil aqli dan naqli. Adapun mengenai penjelasan dalil-dalil tersebut, maka Al-Quran adalah kitab yang berbeda dengan kitab-kitab lainnya. Secara faktual/nyata, Al-Quran merupakan suatu kenyataan yang bisa dijangkau panca indera dan akal, dapat dipikirkan atau dibuktikan kebenarannya.
Tidak demikian halnya dengan kitab samawi lainnya. Kitab tersebut faktanya sudah tidak ada, sehingga akal sudah tidak mampu membahas dan membuktikan kebenarannya (bahwa kitab iut berasal dari Allah). Sebab kitab-kitab tersebut tidak mengandung mukjizat yang bisa dijangkau akal manusia (terutama manusia pada zaman kini). Juga Nabi yang membawanya tidak menjadikannya (Taurat, Zabur, dan Injil) sebagai bukti tentang kenabiannya. Walaupun demikian, kita wajib meyakini kitab-kitab tersebut pernah diwahyukan kepada nabi-nabi dan rasul-rasul terdahulu, baik yang diberitakan dalam Al-Quran maupun yang tidak diberitakan.
Karena itu, dalil keimanan terhadap kitab-kitab suci selain Al-Quran, adalah dalil naqli, yakni berdasarkan (ditunjukan) oleh Al-Quran dan Hadist Rasul yag pasti, seperti firman Alah SWT :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab-kitab yang Allah telah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah telah turunkan sebelumnya. Siapa saja yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kiamat, maka sesungguhnya telah sesat sejauh-jauhnya.” (Q. S. An-Nisaa : 136).
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa Al-Quran telah diwahyukan Allah SWT kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad SAW, melalui Malaikat Jibril as, adalah berdasarkan pada dalil aqli, yaitu dengan pembuktian dari segi ketinggian bahasa dan isi yang dikandungnya. Kedua hal ini telah menunjukkan suatu mukjizat yang amat menakjubkan dan besar, sekaligus membuktikan bahwa Al-Quran bukan hasil karya seorang manusia.

Iman Kepada Rasul


Beriman kepada kenabian Muhammad SAW, dapat dibuktikan secara aqli dengan mukjizatnya yang abadi, yaitu Al-Quran. Ia adalah Kalamullah, yang telah membungkam orang-orang kafir, terdiam tak mampu menandingi atau mendatangkan satu surat saja semisal Al-Quran. Hal ini menjadi dalil yang meyakinkan bahwa Muhammad SAW adalah seorang nabi dan rasul. Sebab, suatu mukjizat hanya diberikan Allah kepada para nabi dan rasul. Allah SWT berfirman :
(Dan) jika kalian tetap meragukan Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad SAW), maka buatlah satu surat (saja) semisal Al-Quran dan ajaklah para penolong selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah : 23).
Disamping kita percaya kepada kenabian dan kerasulan Muhammad SAW, kita wajib percaya pula bahwa Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin (penutup para nabi). Dikalangan ummat Islam sejak sahabat hingga kini, bahkan sampai akhir jaman nanti wajib mentaati konsensus bahwa nabi dan rasul penutup (akhir) adalah Muhammad SAW, sehingga tidak ada lagi nabi dan rasul sesudahnya sampai hari kiamat. Konsensus ummat Islam mengenai hal ini adalah berdasarkan :
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Mahatahu segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab : 40)
Sesungguhnya risalah kenabian itu telah habis. Maka tidak ada nabi dan rasul sesudahnya.” (Imam Ahmad bin Hambal dari Anas bin Malik).
Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan nabi-nabi sebelumku adalah sama dengan seorang yang membuat sebuah rumah; diperindah dan diperbagusnya (serta diselesaikan segala sesuatunya) kecuali tempat (yang disiapkan) untuk sebuah batu bata di sudut rumah itu. Orang-orang yang mengelilingi rumah itu mengaguminya, tetapi bertanya; “Mengapa engkau belum memasang batu bata itu ? Nabi pun berkata ‘Sayalah batu bata (terakhir) -sebagai penyempurna -itu, dan sayalah penutup para nabi’.” (Imam Bukhari, Ahmad Ibnu Hibban dari Abi Hurairah).
Adapun beriman kepada nabi dan rasul sebelum Muhammad SAW dengan dalil naqli. Al-Quran menjelaskan bahwa mereka diutus oleh Allah dengan syari’at masing-masing. Namun diantara mereka tidak ada perbedaan dalam hal menyeru kepada tauhid.
“...beriman kepada Allah, malaikat, kitab, dan rasul yang tidak ada perbedaan satu dengan yang lainnya diantara mereka.” (QS. Al-Baqarah : 285).

Iman Kepada Hari Akhir


Akal manusia mampu membuktikan kebenaran suatu hal yang berada di luar jangkauannya, jika ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan seorang Baduy (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya “Dengan apa engkau mengenal Rabbmu ?” Jawabnya :
“Tahi onta itu menunjukkan adanya onta, dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan. “
Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Quran adalah bukti eksistensi Allah (tentang adanya al-kholiq/Sang pencipta) dengan cara mengajak manusia memperhatikan makhluk-makhluk-Nya. Sebab kalau akal diajak untuk mencari Dzat-Nya maka tentu saja akal tidak mampu menjangkaunya, seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang meyakini.” (QS. Al-Jaatsiyat: 3-4).
Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung tentang dzat Allah sudah berada di luar kemampuan akal untuk menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
“Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang dzat Allah, sebab kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya” (HR. Abu Nu’im dalam Al-Hidayah, sifatnya marfu’, sanadnya dhoif tetapi isinya shohih).
Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang dzat Allah yang sebenarnya, bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisa. Ia tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun. Semisal manusia, makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Dengan demikian beriman kepada keberadaan (wujud) Allah diperoleh dengan jalan berfikir/aqli. Dengan berfikir dan melakukan perenungan yang mendalam akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa segala sesuatu itu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah, kurang, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung kepada yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari ‘ketiadaannya’ sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya.
Begitu pula dengan kehidupan, ia bersifat terbatas pula, sebab penampakkan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula halnya dengan alam semesta. Ia pun bersifat terbatas. Sebab alam semesta itu hanyalah merupakan himpunan benda-bneda di bumi dan di angkasa dimana setiap benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta itu pun bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa AMK, ketiganya bersifat terbatas (termasuk memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Apabila kita melihat kepada segala hal yang bersifat terbatas, akan didapati bahwa segala hal tersebut tidak azali (azali tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab apabila ia azali bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya pencipta yang mengadakannya, atau mewajibkan adanya ‘sesuatu yang lain’. Dan ‘sesuatu yang lain’ inilah Al-kholiq yang menciptakan AMK.
Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai akal, hanya dengan perantaraan wujud benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda- benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab dapat disaksikan bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Yakinlah bahwa semua hanyalah makhluk. Oleh karena itu, untuk membuktikan adanya Al-Kholiq yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta, kehidupan, dan di dalam manusia itu sendiri.
Oleh karena itu dijumpai bahwa Al-Quran senantiasa melontarkan pandangannya kepada benda-benda yang ada di sekitar manusia sambil mengajak menusia untuk turut mengamatinya serta mengamati segala yang ada di sekelilingnya dan apa yang berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan mengamati benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan manusia terhadap adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa adanya keraguan. Di dalam Al-Quran telah dibeberkan banyak ayat yang berkenaan dengan hal ini, antara lain firman Allah:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi , dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal. “ (QS. Ali Imran : 190).
Juga firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan warna kulitmu.” (QS. Ar-Rum: 22).
Serta firman-Nya yang lain seperti Q. S. Al-Ghaasiyah : 17-20 juga Ath-Thariq : 5-7 atau juga firman-Nya yang berikut:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air dan awan yang dikendalikan antar langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah : 164).
Ditambah lagi dengan ayat-ayat lain yang serupa, yang mengajak manusia untuk memperhatikan dengan seksama terhadap benda-benda alam, serta melihat apa yang ada di sekelilingnya dan yang berhubungan dengannya (dari segi keberadaannya) untuk dijadikan petunjuk atas adanya Pencipta yang Maha Pengatur. Sehingga dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar dari akal dan bukti.
Adapun beriman kepada sifat-sifat dan asmaul husna Allah didapatkan dengan cara naqli/wahyu. Perkara ini tidak bisa dijangkau langsung oleh panca indra, akan tetapi membutuhkan sejumlah ma’lummat (informasi), yakni wahyu.

konsekusi akidah



Konsekuensi  Memeluk
Aqidah  Islamiyah



            Dalam kehidupan ini, manusia yang "normal" tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya.  Ambil saja suatu contoh tentang seseorang yang sedang memasak air. Setelah mendidih, ia melihat didihan tersebut.  Orang itu pun menyadari dan meyakini betul bahwa air yang mendidih tadi pasti panasnya. Selain itu, ia berpendirian bahwa bila air mendidih itu diminum niscaya akan rusaklah lidah, serta rontoklah giginya.  Bila demikian keadaannya, tentu saja ia tidak akan serta merta meminum air yang mendidih tadi sekalipun ia dahaga sekali.  Andaikan, orang itu tetap juga meminumnya padahal ia tahu dan sadar betul akan kondisi air itu, konsekuensi dan dampak meminumnya akan dideritanya; akan macam-macamlah pandangan orang terhadapnya.  Bahkan, boleh jadi ada orang yang mengatakan bahwa ia gila,  sebab meyakini keadaan air mendidih dengan segala akibatnya tetapi masih melanggar apa yang diyakininya itu. Inilah suatu gambaran dalam kehidupan bahwa orang yang "normal" akan melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinannya.  Bila tidak, barangkali orang akan menyebutnya sebagai mahluk aneh.
            Aqidah, seperti telah disebutkan, merupakan keyakinan dengan penuh kepastian dan ketegasan yang sesuai dengan kenyataan serta digali dari dalil-dalil yang pasti.  Dengan demikian, sudah semestinya seseorang yang menganut aqidah Islamiyah akan senantiasa berbuat dan bersikap sesuai dengan aqidah yang diyakininya itu.  Jika tidak demikian, maka tidak beda halnya dengan orang yang meyakini realitas air mendidih dan akibat yang ditimbulkan bagi orang yang meminumnya tetapi ia tetap juga melakukannya, akhirnya ia merasakan akibat yang sudah diketahuinya akan terjadi seperti dalam ilustrasi di atas.
            Kemudian timbul pertanyaan, jika demikian apa konsekuensi-otomatis-logis bagi seseorang yang telah menganut aqidah Islamiyah? Ada beberapa hal utama yang penting didarahdagingkan dalam diri muslim yang telah menganut aqidah islamiyah, diantaraanya :

·         Menjadikan aqidah Islamiyah sebagai landasan dan asas berpikir (qo'idah fikriyah).
            Aqidah Islamiyah merupakan landasan dan asas berpikir bermakna bahwa seluruh pemikiran, ide-ide, dan konsepsi tentang segala perkara harus lahir dari aqidah Islamiyah. Di samping itu, tolok ukur untuk menilai apakah suatu konsepsi itu benar atau salah adalah aqidah Islamiyah. Konsepsi yang bertentangan dengan aqidah Islamiyah pasti konsepsi itu keliru, sebaliknya konsepsi yang sesuai dengan aqidah Islamiyah itulah yang tepat.  Sebagai contoh; ketika seseorang membaca tulisan, pemberitaan, dan propaganda tentang demokrasi; ia tidak serta merta menerimanya.  Sebaliknya, seorang muslim akan mengkaji terlebih dahulu apa sebenarnya hakikat demokrasi yang berintikan kedaulatan di tangan rakyat yang ddiwakili oleh wakilnya. Dengan kata lain, menurut kaca mata demokrasi rakyatlah melalui wakilnya yang berhak menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, serta yang berhak menyatakan mana yang benar mana yang salah.  Lalu, ia mempelajari konsepsi Islam yang lahir dari aqidah Islamiyah tentang hal ini.  Ditemukannyalah bahwa dalam pandangan aqidah Islamiyah yang berhak menentukan halal-haramnya sesuatu dan benar-salahnya sesuatu adalah Allah SWT yang menjelaskannya di dalam Al-Quran dan Hadits Nabi, bukannya manusia baik rakyat ataupun pemegang kekuasaan.  Dengan demikian, ia akan menyatakan bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam. Demikian pula terhadap perkara-perkara lain seperti emansipasi, nasionalisme, PBB, pemecahan masalah ekonomi, sosial, politik, dan budaya, semuanya ddistandarisasi dan digali dari aturan-aturan yang lahir dari aqidah islamiyah. Seorang muslim yang senantiasa menilai segala perkara dengan landasan aqidah Islamiyah dikatakan telah menjadikan aqidah Islamiyah tersebut sebagai qoidah fikriyah.
            Banyak sekali teks-teks Al-Quran yang memerintahkan kaum muslimin untuk menjadikan aqidah Islamiyah sebagai landasan berpikirnya. Salah satunya adalah firman Allah SWT di dalam surat Ibrahim ayat 24 dan 25 yang maknanya sebagai berikut :

"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Aallah SWT telah membuat perumpamaan kalimaat yang baik (kalimah thoyyibah) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya tiap musim dengan seizin Robb-nya.  Allahh SWT membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka ingat."
            Kata kalimah thoyyibah dalam ayat tadi dimaknai oleh mayoritas ahli tafsir sebagai aqidah Islamiyah. Ibnu Abbas mengatakan "kalimah thoyyibah adalah la ilahha illallah", sedangkan Mujahid dan Ibnu Juraij menyatakan:"Kalimah thoyyibah adalah Iman/aqidah islamiyah." (Lihat Al-Jami' li ahkamil Quran, IX, hal. 359). Jelaslah dalam ayat itu bahwa aqidah Islamiyah merupakan pangkal dari pemikiran-pemikiran Islam seperti halnya pangkal pohon yang menghasilkan buah sepanjang masa.
            Demikian pula, Rasulullah Saw. telah mengajarkan kepada para sahabat bahwa landasan pemikiran itu adalah aqidah islamiyah. Pernah suatu ketika terjadi gerhana matahari bertepatan dengan wafatnya putra beliau yang masih kecil, Ibrahim. Orang-orang Arab waktu itu ramai bergunjing bahwa terjadinya gerhana itu akibat putra Rasul meninggal. Setelah perkatan mereka sampai pada Rasul Saw. beliau mengeluarkan statemen:

"Gerhana matahari dan gerhana bulan merupakan dua diantara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, bukan karena hidup atau matinya seseorang ..."

            Dalam kasus di atas nabi Saw. menghubungkan gerhana dengan aqidah islamiyah. Berdasarkan hal ini dapat dipahami bahwa aqidah islamiyah harus dijadikan sebagai landasan berpikir.




·         Menghambakan diri hanya kepada Allah SWT.
            Akar dari aqidah Islamiyah adalah La ilaha illallah, Muhammadu rasulullah.  Pernyataan la ilaha illallah menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah dalam kedudukan sebagai Pengatur, Pemelihara, dan Pencipta selain Allah SWT.  Di dalam kosa kata Arab Ilah artinya ma'bud, yakni yang disembah (yang diperhamba). Dan penghambaan ('ubudiyah) adalah ketundukan mutlak, pengakuan kelemahan yang total serta penyerahan segala pengaturan kepada yangg disembah (ma'bud). Dengan demikian, selain Allah SWT, baik berhala hidup atau mati, berbentuk manusia atau bukan, tidak berhak diperhamba karena mereka semua lemah, tidak mampu menciptakan sesuatu apapun. Firman Allah SWT :

"Itulah Allah SWT Rabb kalian, tidak ada sesembahan selain Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Ia."(QS. Al-An'am : 102)

            Terma-terma 'ubudiyah dalam Al-Quran tidak semata bersifat kerohanian semata, melainkan berupa penghambaan total manusia kepada Allah SWT, ketundukaan menyeluruh dari manusia kepada Sang Pencipta dalam segala aspek kehidupannya. Dengan demikian seorang muslim menjalani kehidupan ini diatur dan "disetir" oleh perintah dan larangan Allah SWT, baik dalam masalah pribadi, keluarga, kelompok, masyarakat, maupun negara. Dengan demikian, di dalam kalimat La ilaha illah terkandung juga makna bahwa tidak ada yang berhak menetapkan peraturan (syara) selain Allah SWT. Hal ini dapat dipahami dari beberapa ayat berikut:


"Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah.  Dia telah memerintaghkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.  Itulah agama yaang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS. Yusuf : 40)

"Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah; kepada-Nyalah aku bertawakkal; dan hendaklah kepadanya bertawakkal orang-orang yang bertawakkal." (QS. Yusuf : 67)

"Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah bagi orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah : 50)

·         Hanya mengikuti aturan yang berasal dari Muhammad SAW.
            Telah disebutkan bahwa hak menetapkan aturan yang harus diikuti seorang muslim hanyalah Allah SWT.  Dari pernyataan ini akan muncul pertanyaan "Darimana kita mengetahui hukum yang berasal dari Allah SWT?" Jawabannya terdapat di dalam pernyataan Muhammadu Rasulullah. Di dalam pernyataan tersebut terkandung makna bahwa syariat (aturan) yang diridhoi oleh Allah bagi manusia adalah aturan-aturan yang telah diturunkan oleh-Nya kepada Muhammad SAW melalui wahyu, bukan yang diajarkan Plato, Voltaire, John Lock, J. J. Rousou, ataupun Marx.  Dengan demikian setelah turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW, orang yang betul-betul berkehendak mengesakan Allah SWT dalam penghambaan dan aturan sudah semestimya mengikuti agama yang dibawa oleh Muhammad SAW, sebab dialah yang membawa risalah dari Allah SWT Yang Maha Gagah untuk disampaikan kepada manusia yang memang serba lemah, serba kurang, dan serba butuh pengaturan dari Dzat Yang Maha Tahu. Jadi, orang yang menganut aqidah Islamiyah akan mengikuti hanya jalan dan aturan yang dibawa oleh Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT.  Hal ini dapat dipahami dari ayat-ayat berikut :

"Kemudian Kami jadikan kamu (Muhammad) berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat ittu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui."(QS. Al-Jatsiyah:18)

"Katakanlah : Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni  dosa-dosamu.  Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(QS. Ali Imran : 31)

"Demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman sampai mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai haakim (pemutus aturan) dalam perkara diantara mereka, lalu mereka tidak menemukan di dalam diri mereka sendiri suatu keberatan pun atas apa yang engkau putuskan, dan mereka berserah diri secara bulat"(QS. An-Nisa : 65)






















            Berdasarkan bahasan sekilas tadi, dapat dikatakan bahwa semua orang yang memeluk aqidah islamiyah dengan sebenar-benarnya akan berupaya keras menjadikan aqidah tersebut sebagai landasan berpikir, berperilaku, dan berkepribadian; juga sebagai landasan dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan dalam segala aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya; baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun bernegara. Ini semua terjadi sebagai konsekuensi-otomatis-logis pemelukan aqidah Islamiyyah. Wallahu A'lam.o

About Me

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.
twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail