Adat Bangsa Arab Jahiliyah Bag. 1
Sesungguhnya, masa fatrah (masa tidak adanya rasul) terus berlangsung di tengah bangsa Arab dalam jangka waktu yang begitu panjang, tanpa turunnya wahyu ilahi dan tidak pula ada pengemban hidayah (hidayah al-irsyad). Kurun waktu itu terjadi antara masa kenabian Ismail ‘alaihissalam dan masa kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sang penutup para nabi. Oleh sebab itu, beragam adat kebiasaan buruk pun mulai bermunculan di tengah masyarakat Arab jahiliah. Adat kebiasaan baik yang dahulunya ada, akhirnya tertutupi oleh adat kebiasaan buruk yang mulai mendominasi.Kali ini, kita akan mengenal bermacam adat buruk maupun adat baik yang mewarnai kehidupan bermasyarakat bangsa Arab jahiliah pada masa fatrah. Dengan mengetetahuinya, mudah-mudahan kita menjauhi kebiasaan buruk mereka serta melestarikan kebiasaan baik mereka. Kita memuji Allah dan memanjatkan rasa syukur mendalam kepada-Nya atas nikmat Islam yang dicurahkan-Nya.
Adat buruk bangsa Arab jahiliah
- Al-qimar (judi), atau yang lazim dikenal dengan istilah “al-maysir”.
Merupakan kebiasaan penduduk kota-kota di kawasan jazirah, seperti
Makkah, Thaif, Shan’a, Hajar, Yatsrib, Daumatul Jandal, dan sebagainya.
Islam melarang kebiasaan semacam ini melalui turunnya surat Al-Maidah
ayat 90,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.”
(Q.s. Al-Maidah: 90) - Menenggak khamr dan berkumpul-kumpul untuk minum khamr bersama, bangga karenanya, serta memahalkan harganya. Ini merupakan kebiasaan orang-orang kota dari kalangan hartawan, pembesar, dan pujangga sastra. Ketika kebiasaan ini mengakar kuat di tengah mereka dan bertakhta di hati mereka, Allah mengharamkannya secara perlahan-lahan, setahap demi setahap. Ini merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya. Karenanya, bagi-Nya segala puji dan segala kebaikan.
- Nikah istibdha’. Jika istri dari salah seorang lelaki di antara mereka selesai haid kemudian telah bersuci maka lelaki termulia serta paling bagus nasab dan tata kramanya di antara mereka boleh meminta wanita tersebut. Tujuannya, agar sang wanita bisa disetubuhi dalam kurun waktu yang memungkinkannya melahirkan anak yang mewarisi sifat-sifat kesempurnaan si lelaki yang menyetubuhinya tadi.
- Mengubur hidup-hidup anak perempuan. Seorang
laki-laki mengubur anak perempuannya secara hidup-hidup ke dalam tanah,
selepas kelahirannya, karena takut mendapat aib. Dalam Alquran Alkarim
terdapat penentangan terhadap perilaku semacam ini serta penjelasan
tentang betapa kejinya perilaku ini. Hal tersebut ditunjukkan dengan
adanya celaan keras terhadap pelakunya pada hari kiamat. Allah Ta’ala
berfirma dalam surat At-Takwir,
وَإِذَا الْمَوْؤُودَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنبٍ قُتِلَتْ“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (Q.s. At-Takwir: 8—9)
- Membunuh anak-anak, baik lelaki maupun perempuan.
Kekejian ini mereka lakukan karena takut miskin dan takut lapar, atau
mereka sudah putus harapan atas bencana kemiskinan parah yang melanda,
bersamaan dengan lahirnya si anak di wilayah yang merasakan dampak
kemiskinan tersebut. Kondisi ini terjadi karena tanah sedang begitu
tandus dan hujan tak kunjung turun. Setelah Islam datang, Islam
mengharamkan adat keji nan buruk seperti ini, melalui turunnya firman
Allah Ta’ala,
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.”
(Q.s. Al-An’am: 151)
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.”
(Q.s. Al-Isra’:31)
Yang dimaksud dengan “imlaq” adalah kemiskinan yang begitu parah serta begitu memprihatinkan. - Wanita berdandan ketika keluar rumah, dengan tujuan menampakkan kecantikannya, pada saat dia lewat di depan lelaki ajnabi (lelaki yang bukan mahramnya). Jalannya genit, berlemah gemulai, seakan-akan dia memamerkan dirinya dan ingin memikat orang lain.
- Wanita merdeka menjadi teman dekat lelaki. Mereka
menjalin hubungan gelap dan saling berbalas cinta secara
sembunyi-bunyi. Padahal si lelaki bukanlah mahram si wanita. Kemudian
Islam mengharamkan hubungan semacam ini, dengan diturunkannya firman
Allah Ta’ala,
وَلاَ مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ“… Dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya ….”
(Q.s. An-Nisa’: 25)
Padahal si wanita bukanlah mahram si lelaki. Kemudian Islam mengharamkan hubungan semacam ini,
وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ“… Dan tidak (pula lelaki) yang memiliki gundik-gundik ….”
(Q.s. Al-Maidah: 5) - Menjajakan para budak perempuan sebagai pelacur. Di depan pintu rumah si budak perempuan akan dipasang bendera merah, supaya orang-orang tahu bahwa dia adalah pelacur dan para lelaki akan mendatanginya. Dengan begitu, budak perempuan tersebut akan menerima upah berupa harta yang sebanding dengan pelacuran yang telah dilakukannya.
- Fanatisme golongan. Islam datang memerintahkan seseorang menolong saudaranya sesama muslim, dekat maupun jauh, karena “al-akh”
(saudara) yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah saudara seislam.
Oleh sebab itu, pertolongan kepadanya –jika dia dizalimi– adalah dengan
menghapuskan kezaliman yang menimpanya. Adapun pertolongan yang
diberikan kepadanya kala dia berbuat zalim berupa tindakan melarang dan
mencegahnya agar tak berbuat zalim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (dalam riwayat Bukhari),
انصر أخاك ظالما أو مظلوما. فقيل: يا رسول الله أنصنره إذا كان مظلوما فكيف أنصره إذا كان ظالما؟ قال: تحجزه عن الظلم.“Tolonglah saudaramu, baik dia menzalimi ataupun dizalimi.” Kemudian ada yang mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami akan menolongnya (saudara kami) jika dia dizalimi, maka bagiamana cara kami akan menolongnya jika dia menzalimi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau mencegahnya supaya tak berbuat zalim.”
- Saling menyerang dan memerangi satu sama lain, untuk merebut dan merampas harta.
Suku yang kuat memerangi suku yang lemah untuk merampas hartanya. Yang
demikian ini terjadi karena tidak ada hukum maupun peraturan yang
menjadi acuan pada mayoritas waktu di sebagian besar negeri. Di antara
perperangan mereka yang paling terkenal adalah:- Perang Dahis dan
Perang Ghabara’ yang berlangsung antara Suku ‘Abs melawan Suku Dzibyan
dan Fizarah;
- Perang Basus, sampai-sampai dikatakan, “Perang yang paling membuat
sial adalah Perang Basus yang berlangsung sepanjang tahun. Perang ini
terjadi antara Suku Bakr dan Taghlub;”
- Perang Bu’ats yang terjadi antara Suku Aus dan Khazraj di kota Al-Madinah An-Nabawiyyah;
- Perang Fijar yang berlangsung antara Qays ‘Ilan melawan Kinanah dan Quraisy. Disebut “Perang Fijar” karena terjadi saat bulan-bulan haram. Fijar (فِجار ) adalah bentukan wazan فَعَّال dari kata fujur (فجور ); Mereka telah sangat mendurhakai Allah (sangat fujur) karena berani berperang pada bulan-bulan yang diharamkan untuk berperang. - Enggan mengerjakan profesi tertentu, karena kesombongan dan keangkuhan. Mereka tidaklah bekerja sebagai pandai besi, penenun, tukang bekam, dan petani. Pekerjaan-pekerjaan semacam itu hanya diperuntukkan bagi budak perempuan dan budak laki-laki mereka. Adapun bagi orang-orang merdeka, profesi mereka terbatas sebagai pedagang, penunggang kuda, pasukan perang, dan pelantun syair. Selain itu, di tengah bangsa Arab jahiliah tumbuh kebiasaan berbangga-bangga dengan kemuliaan leluhur dan jalur keturunan. Bersambung, insya Allah ….
Marji’: Hadza Al-Habib Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Ya Muhib, karya Syekh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Darul Hadits, Kairo.
***
Penulis: Ummu Asiyah Athirah
Muroja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
- Kategori: Akhlak dan Nasehat
Jagalah Keluargamu dari Neraka
بسم الله الرحمن الرحيمBanyak orang yang mendambakan kebahagiaan, mencari ketentraman dan ketenangan jiwa raga sebagaimana usaha menjauhkan diri dari sebab-sebab kesengsaraan, kegoncangan jiwa dan depresi khususnya dalam rumah dan keluarga.
Urgensi Pembinaan Rumah Tangga Islami
Diantara hal yang terpenting yang mempengaruhi terwujudnya kebahagian pada individu dan masyarakat adalah pembinaan keluarga yang istiqamah diatas ajaran Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah telah menjadikan rumah tangga dan keluarga sebagai tempat yang disiapkan untuk manusia merengkuh ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan sebagai anugerah terhadap hambaNya.
Untuk itulah Allah berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Qs. Ar-Rum [30]:21)
Dalam ayat yang mulia ini Allah firmankan: (لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا) bukan (لِّتَسْكُنُوا مَعَهَا). Hal ini menunjukkan pengertian ketentraman dalam prilaku dan jiwa dan merealisasikan kelapangan dan ketenangan yang sempurna. Sehingga hubungan pasutri itu demikian dekat dan dalamnya seakan-akan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Allah jelaskan hal ini dalam firmanNya,
“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (Qs. Al-Baqarah [2]:187)
Apalagi bila hubungan ini ditambah dengan pembinaan dan pendidikan anak-anak dalam naungan orang tua yang penuh dengan rasa kasih sayang. Adakah nuansa dan pemandangan yang lebih indah dari ini? Hal ini menjadi penting karena perintah Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ ناراً وقودها النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عليها مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدادٌ لاَّ يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Qs. At-Tahrim [66]:6)
Ini semua menjadi tanggung jawab kita semua, sebab kita semua adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّت) متفق عليه
“Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin, wanita juga adalah pemimpin atas rumah dan anak suaminya. Sehingga seluruh kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin.” (Muttafaqun alaihi)
Dalam hadits diatas, jelaslah Allah telah menjadikan setiap orang menjadi pemimpin baik skala bangsa, umat, istri dan anak-anaknya. Setiap orang akan dimintai pertanggung jawabannya dihadapan Allah. Ingatlah tanggung jawab anak dan istri adalah tanggung jawab besar disisi Allah, hal ini dengan menjaga mereka dari api neraka dan berusaha menggapai kesuksesan didunia dengan mendapatkan sakinah, mawaddah dan rahmat dan di akherat dengan masuk kedalam syurga. Inilah sesungguhnya target besar yang harus diusahakan untuk diwujudkan.
Oleh karena itu agama Islam memberikan perhatian khusus dan menetapkan kaedah dan dasar yang kokoh dalam pembentukan keluarga muslim. Islam memberikan kaedah dan tatanan utuh dan lengkap sejak dimulai dari proses pemilihan istri hingga memberikan solusi bila rumah tangga tidak dapat dipertahankan kembali.
Pembinaan keluarga ini semakin mendesak dan darurat sekali bila melihat keluarga sebagai institusi dan benteng terakhir kaum muslimin yang sangat diperhatikan para musuh. Mereka berusaha merusak benteng ini dengan aneka ragam serangan dan dengan sekuat kemampuan mereka. Memang sampai sekarang masih ada yang tetap kokoh bertahan namun sudah sangat banyak sekali yang gugur dan hancur berantakan. Demikianlah para musuh islam tetap dan senantiasa menyerang kita dan keluarga kita. Allah berfirman,
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al-baqarah [2]:217)
Hal ini diperparah keadaan kaum muslimin dewasa ini yang telah memberikan perhatian terlalu besar kepada ilmu-ilmu dunia, namun lupa atau melupakan ilmu agama yang jelas lebih penting lagi. Ilmu yang menjadi benteng akhlak dan etika seorang muslim dalam hidup, dan menggunakan kemampuannya dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan gelombang ujian dan fitnah ini. Mereka lupa membina dirinya, keluarganya dan anak-anaknya dengan ajaran syari’at Islam yang telah membentuk para salaf kita terdahulu menjadi umat terbaik didunia ini.
Memang muncul satu fenomena bahwa urgensi dan tugas orang tua sekarang hampir-hampir menjadi sempit hanya sekedar mengurusi masalah pangan dan sandang saja. Ditambah lagi bapak sibuk dan ibupun tidak kalah sibuknya dalam memenuhi sandang pangan dan mencapai karier tertinggi. Akhirnya anak-anak terlantar dan tidak jelas arah pembinaan dan pendidikannya.
Padahal orang tua memiliki pengaruh besar dalam pembentukan dan pembinaan pribadi anak. Lihatlah sabda Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam,
…. فأبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
“Lalu kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi atau Nashrani.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Karena itu diperlukan pembinaan keluarga SAMARA diatas ajaran dan bimbingan Rasululloh dan contoh para salaf sholeh terdahulu.
Mengapa Harus di Atas Ajaran Rasululloh dan Contoh Para Salaf Sholih?[ 1]
Hal ini karena itu Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mendidik manusia menjadi makhluk yang berakhlak mulia dan lepas dari kesesatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” ( Qs. al-Baqarah [2]: 151)
Demikianlah Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam membina dan mendidik para sahabatnya sehingga mereka lepas dari kebodohan dan kesesatan dan menjadi generasi terbaik, seperti dijelaskan Rasululloh dalam sabda beliau,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku kemudian yang menyusul mereka kemudian yang menyusul mereka.” (HR al-Bukhori 5/191 dan Muslim no. 2533)
Mereka menjadi manusia terbaik dibawah pembinaan pendidik terbaik Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga Mu’awiyah bin al-Hakam radhiallahu ‘anhu mengungkapkan kekagumannya terhadap Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang pendidik dalam ungkapan indahnya,
مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ رواه مسلم
“Aku tidak akan melihat seorang pendidik sebelum beliau dan sesudahnya yang lebih baik dari beliau.” (HR Muslim no. 836)
Demikianlah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan terbaik yang Allah perintahkan kita untuk mencontoh dan mengikutinya dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (Qs. al-Ahzab: 21). Dalam ayat lainnya, Allah memuji beliau dengan firmanNya.
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs al-Qalam[68]: 4)
Sehingga beliau menjadi standar dalam pendidikan dan kehidupan seluruh manusia, oleh karenanya Sufyaan bin ‘Uyainah al-Makki menyatakan: Sungguh Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah standar terbesar. Segala sesuatu ditimbang diatas akhlak, sirah dan petunjuk beliau. Semua yang sesuai dengannya maka itu adalah kebenaran dan yang menyelisihinya adalah kebatilan. [2]
Beliau dengan bimbingan dan taufiq dari Allah berhasil mendidik generasi terbaik yang telah mencapai kejayaan dan kemulian diatas dunia ini dan akan mendapatkan kebahagian mendampingi Rasululloh disyurga, yaitu generasi sahabat yang merupakan pemuka-pemuka para salaf ash-Sholih.
Setelah berlalu masa yang cukup panjang dan kaum muslimin sedikit demi sedikit melupakan generasi sahabat dan ajaran-ajaran Rasululloh yang pernah direalisasikan mereka dalam semua aspek kehidupan sehari-hari, maka lambat laum kemulian dan kejayaan tersebut akhirnya hilang dengan dipenuhinya hati kaum muslimin dengan cinta dunia. Akibatnya merekapun meninggalkan jihad di jalan Alllah . kemudian tampak pada mereka kehinaan dan kelemahan sehingga akhirnya kebidahan dan musuh-musuh mereka berhasil mencabik-cabik mereka sehingga realitanya dapat disaksikan dimasa kiwari ini.
Sudah menjadi keharusan bagi kita untuk mengetahui garis besar singkat ketentuan pendidikan di masa salaf ash-Sholih agar kita teladani di masa kita sekarang ini. Juga agar kemulian yang telah lalu dan kejayaan yang telah hilang kembali lagi kepada kita. Sebab tidak ada jalan untuk demikian kecuali dengan kembali kepada ajaran agama yang pernah difahami dan diamalkan para salaf ash-Sholih. Kembali kepada agama kita yang hanif dan ajaran-ajarannya. Inilah yang dijelaskan Rasululloh ketika menyampaikan solusi kejayaan umat ini setelah menderita kehinaan dalam sabda beliau,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Apabila kamu telah berjual beli dengan ‘Ienah (rekayasa riba), kalian memegangi ekor-ekor sapi, kalian ridho dengan pertanian dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Dia tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu Daud dan dinilai Syeikh al-Albani sebagai hadits shohih dengan berkumpulnya jalan-jalan periwayatannya (Shohih Bi Majmu’ Thuruqihi) dalam silsilah al-Ahadits ash-Shohihah no. 11)
Kembali kepada agama dalam hadits ini dijabarkan dan dijelaskan Rasululloh dalam hadits Abu Laits al-Waaqidi yang berbunyi,
إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ قَالُوْا وَ كَيْفَ نَفْعَلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ فَرَدَّ يَدَهُ إِلَى الْبِسَاطِ فَأَمْسَكَ بِهِ فَقَالَ : تَفْعَلُوْنَ هَكَذَا ! وَذَكَرَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ يَوْمًا : إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ فَلَمْ يَسْمَعُهُ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَقَالَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ : آلاَ تَسْمَعُوْنَ مَا يَقُوْلُ رَسُوْلُ اللهِ ؟! فَقَالُوْا: مَا قَالَ ؟ قَالَ : إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَة . قَالُوْا فكَيْفَ لنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟فَكَيْفَ نَصْنَعُ؟ قَالَ : تَرْجِعُوْا إِلَى أَمْرِكُمُ الأَوَّلِ
“Sesungguhnya akan terjadi fitnah. Para sahabat bertanya: Lalu bagaimana kami berbuat wahai Rasululloh? Lalu beliau mengembalikan tangannya ke permadani dan memegangnya lalu berkata: ‘Berbuatlah demikian!’
Pada satu hari Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka, ‘Sungguh akan terjadi fitnah.’
Namun banyak orang yang tidak mendengarnya. Maka Mu’adz bin Jabal mengatakan, ‘Tidakkah kalian mendengar perkataan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka menjawab, ‘Apa sabdanya?’ Maka beliau berkata, ‘Sesungguhnya akan terjadi fitnah.’ Mereka bertanya, ‘Bagaimana dengan kami wahai Rasululloh? Bagaimana kami berbuat?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kalian kembali kepada urusan kalian yang pertama.’” (HR Ath-Thobrani dan sanadnya dinilai Shohih oleh Syeikh ‘Ali Hasan dalam at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah)
Alangkah butuhnya kita dizaman ini untuk kembali kepada ajaran Rasululloh dan pemahaman para sahabat, khususnya dalam pendidikan. Kita juga butuh untuk menjalankan dan komitmen dengan adab-adabnya dan cara mereka mengajari anak-anak mereka dan menjadikannya sebagai pedoman dan metode perilaku kita. Hal ini tidak akan terealisasi kecuali setelah kita bersandar total kepada metode al-Qur’ani dan metode Nabi n dalam ilmu, belajar dan mengajar yang telah diamalkan para salaf sholih tersebut dengan menjadikannya sebagai dasar dan menerapkannya secara benar dan menyeluruh.
Pernyataan Salaf Tentang Usaha Menjaga Keluarga dari Neraka
Berikut ini sebagian pernyataan ulama salaf seputar menjaga keluarga dari neraka:
Ad-Dhohaak dan Muqaatil menyatakan, “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajari keluarganya dari kerabat, budak wanita dan lelaki semua yang Allah wajibkan pada mereka dan yang dilarang. (lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Termasuk didalamnya memerintahkan anak-anak kecil untuk sholat. Sehingga dapat menjadi perisai diri dari neraka karena melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Ajarilah diri kalian kebaikan dan ajarilah keluarga kalian kebaikan dan didiklah mereka.
Ibnu al-Qayyim menyatakan, “Berapa banyak orang yang menyengsarakan anak dan buah hatinya di dunia dan akherat dengan acuh dan tidak mendidiknya serta membantu mereka menumpahkan syahwatnya. Dengan itu, ia menganggap telah memuliakannya padahal ia menghinakannya dan telah memberikan kasih sayangnya padahal ia telah menzholiminya. Sehingga ia kehilangan (kesempatan) memanfaatkan anaknya (untuk bekal akhiran -ed) dan anaknya pun kehilangan bagiannya di dunia dan akherat. Apabila engkau perhatikan baik-baik kerusakan pada anak-anak maka engkau dapati umumnya dari pihak bapak (Tuhafatul Maudud Fi Ahkaam al-Maulud hal 242)
Beliau juga menyatakan, “Siapa yang tidak memperhatikan pendidikan anaknya semua yang bermanfaat baginya dan meninggalkannya begitu saja, maka ia telah melakukan kejelekan yang paling besar padanya. Mayoritas anak-anak datangnya kerusakan pada mereka dari pihak bapak dan tidak perhatiannya mereka terhadap anak-anak serta tidak mengajari anak-anak kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya. Sehingga mereka telah menelantarkan anak-anak sejak kecil.
Mereka tidak dapat mengambil manfaat dari diri mereka dan orangtua mereka pun tidak dapat mengambil manfaatnya ketika telah tua. Sebagaimana ada sebagian orang tua yang mencela anaknya yang durhaka lalu sang anak menjawab, ‘Wahai bapakku engkau telah mendurhakaiku ketika aku kecil maka (sekarang) aku mendurhakaimu setelah engkau tua dan engakau telantarkan aku ketika aku masih kanak-kanak maka (sekarang) aku menelantarkanmu ketika engkau telah tua’. (Tuhfat al-Maudud bi Ahkam al-Maulud 229)
- Bersambung insya Allah -
Penulis: Ust. Kholid Syamhudi
Footnote:
[1]Diambil dari makalah penulis di Majalah Assunnah edisi 3 th XII/ 2008
[2]Tadzkirat as-Saami’ wa al-Mutakallim, Ibnu Jumaa’ah al-Kinaani hal. 21
***
Akal manusia
mampu membuktikan kebenaran suatu hal yang berada di luar jangkauannya, jika
ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti
perkataan seorang Baduy (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya “Dengan apa
engkau mengenal Rabbmu ?” Jawabnya :
“Tahi
onta itu menunjukkan adanya onta, dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada
orang yang berjalan. “
Oleh
karena itu, ayat-ayat Al-Quran adalah bukti eksistensi Allah (tentang adanya
al-kholiq/Sang pencipta) dengan cara mengajak manusia memperhatikan
makhluk-makhluk-Nya. Sebab kalau akal diajak untuk mencari Dzat-Nya maka tentu
saja akal tidak mampu menjangkaunya, seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya
pada langit dan bumi benar-benar terdapat kekuasaan Allah untuk orang-orang
yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang
bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
meyakini.” (QS. Al-Jaatsiyat: 3-4).
Karena
keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir
langsung tentang dzat Allah sudah berada di luar kemampuan akal untuk
menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia
hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT
dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
“Berfikirlah kamu tentang makhluk
Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang dzat Allah, sebab kamu tidak akan
sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya” (HR.
Abu Nu’im dalam Al-Hidayah, sifatnya marfu’, sanadnya dhoif tetapi isinya
shohih).
Akal
manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang dzat Allah yang
sebenarnya, bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas
Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur
atau dianalisa. Ia tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun. Semisal manusia,
makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Dengan
demikian beriman kepada keberadaan (wujud) Allah diperoleh dengan jalan berfikir/aqli. Dengan berfikir dan melakukan
perenungan yang mendalam akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa segala sesuatu
itu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya. Hal ini dapat diterangkan
sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal
terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ketiga
unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah, kurang, dan saling membutuhkan
kepada yang lain. Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan
berkembang tergantung kepada yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat
dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari
‘ketiadaannya’ sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya.
Begitu
pula dengan kehidupan, ia bersifat terbatas pula, sebab
penampakkan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita
saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu
individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula
halnya dengan alam semesta. Ia pun bersifat terbatas. Sebab alam semesta itu
hanyalah merupakan himpunan benda-bneda di bumi dan di angkasa dimana setiap
benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas
dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta itu pun bersifat
terbatas. Kini jelaslah bahwa AMK, ketiganya bersifat terbatas (termasuk
memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Apabila
kita melihat kepada segala hal yang bersifat terbatas, akan didapati bahwa
segala hal tersebut tidak azali (azali tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab
apabila ia azali bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak,
keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya pencipta yang
mengadakannya, atau mewajibkan adanya ‘sesuatu yang lain’. Dan ‘sesuatu yang
lain’ inilah Al-kholiq yang menciptakan AMK.
Sesungguhnya
bagi setiap orang yang mempunyai akal, hanya dengan perantaraan wujud
benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda-
benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab dapat disaksikan
bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling
membutuhkan kepada yang lain. Yakinlah bahwa semua hanyalah makhluk. Oleh
karena itu, untuk membuktikan adanya Al-Kholiq yang Maha Pengatur, sebenarnya
cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta,
kehidupan, dan di dalam manusia itu sendiri.
Oleh
karena itu dijumpai bahwa Al-Quran senantiasa melontarkan pandangannya kepada
benda-benda yang ada di sekitar manusia sambil mengajak menusia untuk turut
mengamatinya serta mengamati segala yang ada di sekelilingnya dan apa yang
berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan
mengamati benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan manusia
terhadap adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa
adanya keraguan. Di dalam Al-Quran telah dibeberkan banyak ayat yang berkenaan
dengan hal ini, antara lain firman Allah:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi , dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi
orang yang berakal. “ (QS. Ali Imran : 190).
Juga firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan warna
kulitmu.” (QS. Ar-Rum: 22).
Serta
firman-Nya yang lain seperti Q. S. Al-Ghaasiyah : 17-20 juga Ath-Thariq : 5-7
atau juga firman-Nya yang berikut:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air dan
awan yang dikendalikan antar langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu
terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS.
Al-Baqarah : 164).
Ditambah
lagi dengan ayat-ayat lain yang serupa, yang mengajak manusia untuk
memperhatikan dengan seksama terhadap benda-benda alam, serta melihat apa yang
ada di sekelilingnya dan yang berhubungan dengannya (dari segi keberadaannya)
untuk dijadikan petunjuk atas adanya Pencipta yang Maha Pengatur. Sehingga
dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar
dari akal dan bukti.
Adapun
beriman kepada sifat-sifat dan asmaul husna Allah didapatkan dengan cara naqli/wahyu. Perkara ini tidak bisa
dijangkau langsung oleh panca indra, akan tetapi membutuhkan sejumlah ma’lummat
(informasi), yakni wahyu.
Iman Kepada Malaikat
Iman
kepada malaikat berdasarkan dalil naqli,
sebab akal tidak pernah mampu menjangkau eksistensi/keberadaan Malaikat. Dalil
syara’ tentang adanya malaikat berasal dari ayat-ayat Al-Quran dan sunnah rasul
diantaranya adalah firman Allah SWT:
“Allah telah terangkan bahwasanya tidak ada ilah selain
Dia, Yang menegakkan keadilan dan disaksikan oleh para malaikat dan ahli-ahli
ilmu. Tidak ada Ilah selain Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana” (QS.
Ali-Imran : 18).
Kitab-kitab
yang berasal dari firman Allah SWT seluruhnya ada empat macam, yaitu Al-Quran
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Taurat yang diturunkan kepada Nabi
Musa a.s. Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud as. Dan Injil yang diturunkan
kepada hamba Allah dan Rasul-Nya, Nabi Isa A.s. Sementara itu firman Allah
dalam bentuk shuhuf, misalnya adalah apa yang dibenarkan kepada Nabi Ibrahim
a.s.
Beriman
terhadap kitab Allah mempunyai sandaran yang berasal dari pemahaman dalil aqli dan naqli. Adapun mengenai penjelasan dalil-dalil tersebut, maka
Al-Quran adalah kitab yang berbeda dengan kitab-kitab lainnya. Secara
faktual/nyata, Al-Quran merupakan suatu kenyataan yang bisa dijangkau panca
indera dan akal, dapat dipikirkan atau dibuktikan kebenarannya.
Tidak
demikian halnya dengan kitab samawi lainnya. Kitab tersebut faktanya sudah
tidak ada, sehingga akal sudah tidak mampu membahas dan membuktikan
kebenarannya (bahwa kitab iut berasal dari Allah). Sebab kitab-kitab tersebut
tidak mengandung mukjizat yang bisa dijangkau akal manusia (terutama manusia
pada zaman kini). Juga Nabi yang membawanya tidak menjadikannya (Taurat, Zabur,
dan Injil) sebagai bukti tentang kenabiannya. Walaupun demikian, kita wajib
meyakini kitab-kitab tersebut pernah diwahyukan kepada nabi-nabi dan
rasul-rasul terdahulu, baik yang diberitakan dalam Al-Quran maupun yang tidak
diberitakan.
Karena
itu, dalil keimanan terhadap kitab-kitab suci selain Al-Quran, adalah dalil naqli, yakni berdasarkan (ditunjukan)
oleh Al-Quran dan Hadist Rasul yag pasti, seperti firman Alah SWT :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab-kitab yang Allah telah turunkan
kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah telah turunkan sebelumnya. Siapa saja
yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan hari kiamat, maka sesungguhnya telah sesat
sejauh-jauhnya.” (Q. S. An-Nisaa : 136).
Iman Kepada Rasul
Beriman
kepada kenabian Muhammad SAW, dapat dibuktikan secara aqli dengan mukjizatnya yang abadi, yaitu Al-Quran. Ia adalah
Kalamullah, yang telah membungkam orang-orang kafir, terdiam tak mampu
menandingi atau mendatangkan satu surat saja semisal Al-Quran. Hal ini menjadi
dalil yang meyakinkan bahwa Muhammad SAW adalah seorang nabi dan rasul. Sebab,
suatu mukjizat hanya diberikan Allah kepada para nabi dan rasul. Allah SWT
berfirman :
“(Dan) jika kalian tetap meragukan Al-Quran
yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad SAW), maka buatlah satu surat
(saja) semisal Al-Quran dan ajaklah para penolong selain Allah, jika kalian
orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah : 23).
Disamping
kita percaya kepada kenabian dan kerasulan Muhammad SAW, kita wajib percaya
pula bahwa Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin
(penutup para nabi). Dikalangan ummat Islam sejak sahabat hingga kini, bahkan
sampai akhir jaman nanti wajib mentaati konsensus bahwa nabi dan rasul penutup
(akhir) adalah Muhammad SAW, sehingga tidak ada lagi nabi dan rasul sesudahnya
sampai hari kiamat. Konsensus ummat Islam mengenai hal ini adalah berdasarkan :
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari
seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah rasulullah dan penutup
nabi-nabi. Dan adalah Allah Mahatahu segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab : 40)
“Sesungguhnya risalah kenabian itu telah
habis. Maka tidak ada nabi dan rasul sesudahnya.” (Imam Ahmad bin Hambal
dari Anas bin Malik).
“Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan
nabi-nabi sebelumku adalah sama dengan seorang yang membuat sebuah rumah;
diperindah dan diperbagusnya (serta diselesaikan segala sesuatunya) kecuali
tempat (yang disiapkan) untuk sebuah batu bata di sudut rumah itu. Orang-orang
yang mengelilingi rumah itu mengaguminya, tetapi bertanya; “Mengapa engkau
belum memasang batu bata itu ? Nabi pun berkata ‘Sayalah batu bata (terakhir)
-sebagai penyempurna -itu, dan sayalah penutup para nabi’.” (Imam Bukhari,
Ahmad Ibnu Hibban dari Abi Hurairah).
Adapun
beriman kepada nabi dan rasul sebelum Muhammad SAW dengan dalil naqli. Al-Quran menjelaskan bahwa mereka
diutus oleh Allah dengan syari’at masing-masing. Namun diantara mereka tidak
ada perbedaan dalam hal menyeru kepada tauhid.
“...beriman kepada Allah, malaikat,
kitab, dan rasul yang tidak ada perbedaan satu dengan yang lainnya diantara
mereka.” (QS. Al-Baqarah : 285).
Iman Kepada Hari Akhir
Seorang
muslim beriman bahwa kehidupan di dunia akan musnah dan berakhir kemudian
berganti dengan kehidupan kedua di alam akhirat. Keyakinan terhadap alam
akhirat/hari kiamat ini merupakan bagian dari rukun iman (dasar-dasar
keimanan). Adapun bukti-bukti adanya hari kiamat, sekaligus dalil keimanannya,
berasal dari wahyu (ayat-ayat) Allah dan hadist Rasul. Dasar pemahamannya
berdasarkan dalil naqli, bukan dalil aqli. Sebab, hari kiamat adalah sesuatu
yang tidak terjangkau panca indera manusia, sehingga akal tidak mampu
menemukannya dengan pasti berdasarkan usaha pengindraan terhadap sesuatu. Tanpa
adanya berita tentang hari kiamat dari wahyu Allah, maka manusia tidak
mengetahui apakah ada atau tidak hari kebangkitan sesudah mati, serta bagaimana
bentuk kehidupan sesudah mati itu? Dalil-dalil naqli yang menjelaskan tentang hari kiamat tersebut diantaranya adalah
:
“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa
mereka sekali-kali tidak dibangkitkan. Katakanlah, Tidak demikian. Demi
Tuhanku, kalian benar-benar pasti dibangkitkan, kemudian akan diberikan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Hal demikian adalah mudah bagi Allah”.
(QS. At-taghaabun : 7).
Hadist
shohih, ketika jibril mengajarkan kepada Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Umar bin Khaththab :
“Ketika Jibril menanyakan kepada Rasulullah
tentang iman, maka Rasulullah menjawab : “Hendaklah engkau beriman kepada
Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, juga kepada hari
kiamat. Dan hendaklah engkau beriman kepada Qodar yang baik dan buruk (dari
Allah)”.
Qadar
Iman
kepada qadar/takdir merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap muslim, sebab hal
ini memiliki sandaran nash-nash Al-Quran yang pasti serta dijelaskan oleh
Rasulullah SAW dalam sunnahnya (Q. S. An-Naml : 57, At-Taubah :51, Al-Hadid :
22, dan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab; ketika
itu malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dan bertanya yang artinya
“Coba ceritakan apa iman itu ? Lalu
Rasululah menjawab : Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan percaya kepada takdir baik dan
buruknya berasal dari Allah SWT ”.
Iman
kepada takdir berbeda dengan iman kepada ‘Qadha dan Qadar’, ia bukan lahir dari
nash-nash syara’ secara langsung. Istilah ‘Qadha dan Qadar’, sebagai istilah
tertentu yang bermakna pula, tidak didapatkan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
Kalau kita kaji dari buku-buku hadist, kita tidak akan menemukan masalah ini
(qadha dan qadar). Kita hanya akan menemukan pembahasan taqdir (atau al-qadar
yang bermakna takdir). Misalnya dalam Shahih Bukhari hadist no. 6594-6620 dan
Shahih Muslim no. 2634-2664; yang merupakan bab khusus tentang masalah takdir.
Di dalam Al-Quran sendiri tidak ada istilah ‘Qadha dan Qadar’ yang digabungkan
itu dan keduanya hanya ditemukan terpisah.
Tiadanya
istilah qadha dan qadar (yang digabungkan, dan memiliki makna tertentu pula)
tersebut, karena memang masalah ini baru muncul pada masa tabi’in (setelah masa
shahabat), pada akhir abad pertama Hijriyah (awal abad kedua Hijriyah).
Seorang
muslim beriman dan yakin bahwa semua keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh
Allah SWT (karena memang Allah Maha Mengetahui segala sesuatu/bersifat Al-’Alim), baik kejadian yang telah
terjadi, sedang maupun yang akan terjadi. Kejadian apapun bentuknya telah
diketahui oleh Allah SWT dan dituliskan di Lauhul
Mahfuzh (kitab induk dan gambaran umum luasnya ilmu Allah SWT).
Inilah
pengertian sederhana dari takdir yang telah dijelaskan oleh Al-Quran dan hadist
Rasulullah SAW. Dengan kata lain takdir adalah catatan (ilmu Allah) yang
menyeluruh tentang segala sesuatu, semuanya telah tercatat/diketahui oleh Allah
SWT dan dituliskan di Lauhul Mahfuzh.
Adapun masalah ‘Qadha dan Qadar’ memerlukan penjelasan yang lain yang lebih
terperinci dan tidak diuraikan dalam makalah ini.
Akal manusia
mampu membuktikan kebenaran suatu hal yang berada di luar jangkauannya, jika
ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti
perkataan seorang Baduy (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya “Dengan apa
engkau mengenal Rabbmu ?” Jawabnya :
“Tahi
onta itu menunjukkan adanya onta, dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada
orang yang berjalan. “
Oleh
karena itu, ayat-ayat Al-Quran adalah bukti eksistensi Allah (tentang adanya
al-kholiq/Sang pencipta) dengan cara mengajak manusia memperhatikan
makhluk-makhluk-Nya. Sebab kalau akal diajak untuk mencari Dzat-Nya maka tentu
saja akal tidak mampu menjangkaunya, seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya
pada langit dan bumi benar-benar terdapat kekuasaan Allah untuk orang-orang
yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang
bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
meyakini.” (QS. Al-Jaatsiyat: 3-4).
Karena
keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir
langsung tentang dzat Allah sudah berada di luar kemampuan akal untuk
menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia
hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT
dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
“Berfikirlah kamu tentang makhluk
Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang dzat Allah, sebab kamu tidak akan
sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya” (HR.
Abu Nu’im dalam Al-Hidayah, sifatnya marfu’, sanadnya dhoif tetapi isinya
shohih).
Akal
manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang dzat Allah yang
sebenarnya, bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas
Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur
atau dianalisa. Ia tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun. Semisal manusia,
makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Dengan
demikian beriman kepada keberadaan (wujud) Allah diperoleh dengan jalan berfikir/aqli. Dengan berfikir dan melakukan
perenungan yang mendalam akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa segala sesuatu
itu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya. Hal ini dapat diterangkan
sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal
terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ketiga
unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah, kurang, dan saling membutuhkan
kepada yang lain. Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan
berkembang tergantung kepada yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat
dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari
‘ketiadaannya’ sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya.
Begitu
pula dengan kehidupan, ia bersifat terbatas pula, sebab
penampakkan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita
saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu
individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula
halnya dengan alam semesta. Ia pun bersifat terbatas. Sebab alam semesta itu
hanyalah merupakan himpunan benda-bneda di bumi dan di angkasa dimana setiap
benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas
dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta itu pun bersifat
terbatas. Kini jelaslah bahwa AMK, ketiganya bersifat terbatas (termasuk
memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Apabila
kita melihat kepada segala hal yang bersifat terbatas, akan didapati bahwa
segala hal tersebut tidak azali (azali tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab
apabila ia azali bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak,
keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya pencipta yang
mengadakannya, atau mewajibkan adanya ‘sesuatu yang lain’. Dan ‘sesuatu yang
lain’ inilah Al-kholiq yang menciptakan AMK.
Sesungguhnya
bagi setiap orang yang mempunyai akal, hanya dengan perantaraan wujud
benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda-
benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab dapat disaksikan
bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling
membutuhkan kepada yang lain. Yakinlah bahwa semua hanyalah makhluk. Oleh
karena itu, untuk membuktikan adanya Al-Kholiq yang Maha Pengatur, sebenarnya
cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta,
kehidupan, dan di dalam manusia itu sendiri.
Oleh
karena itu dijumpai bahwa Al-Quran senantiasa melontarkan pandangannya kepada
benda-benda yang ada di sekitar manusia sambil mengajak menusia untuk turut
mengamatinya serta mengamati segala yang ada di sekelilingnya dan apa yang
berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan
mengamati benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan manusia
terhadap adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa
adanya keraguan. Di dalam Al-Quran telah dibeberkan banyak ayat yang berkenaan
dengan hal ini, antara lain firman Allah:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi , dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi
orang yang berakal. “ (QS. Ali Imran : 190).
Juga firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan warna
kulitmu.” (QS. Ar-Rum: 22).
Serta
firman-Nya yang lain seperti Q. S. Al-Ghaasiyah : 17-20 juga Ath-Thariq : 5-7
atau juga firman-Nya yang berikut:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air dan
awan yang dikendalikan antar langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu
terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS.
Al-Baqarah : 164).
Ditambah
lagi dengan ayat-ayat lain yang serupa, yang mengajak manusia untuk
memperhatikan dengan seksama terhadap benda-benda alam, serta melihat apa yang
ada di sekelilingnya dan yang berhubungan dengannya (dari segi keberadaannya)
untuk dijadikan petunjuk atas adanya Pencipta yang Maha Pengatur. Sehingga
dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar
dari akal dan bukti.
Adapun
beriman kepada sifat-sifat dan asmaul husna Allah didapatkan dengan cara naqli/wahyu. Perkara ini tidak bisa
dijangkau langsung oleh panca indra, akan tetapi membutuhkan sejumlah ma’lummat
(informasi), yakni wahyu.
Konsekuensi Memeluk
Aqidah Islamiyah
Dalam kehidupan ini, manusia yang "normal"
tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya. Ambil saja suatu contoh tentang seseorang
yang sedang memasak air. Setelah mendidih, ia melihat didihan tersebut. Orang itu pun menyadari dan meyakini betul
bahwa air yang mendidih tadi pasti panasnya. Selain itu, ia berpendirian bahwa
bila air mendidih itu diminum niscaya akan rusaklah lidah, serta rontoklah
giginya. Bila demikian keadaannya, tentu
saja ia tidak akan serta merta meminum air yang mendidih tadi sekalipun ia
dahaga sekali. Andaikan, orang itu tetap
juga meminumnya padahal ia tahu dan sadar betul akan kondisi air itu,
konsekuensi dan dampak meminumnya akan dideritanya; akan macam-macamlah pandangan
orang terhadapnya. Bahkan, boleh jadi
ada orang yang mengatakan bahwa ia gila,
sebab meyakini keadaan air mendidih dengan segala akibatnya tetapi masih
melanggar apa yang diyakininya itu. Inilah suatu gambaran dalam kehidupan bahwa
orang yang "normal" akan melakukan sesuatu sesuai dengan
keyakinannya. Bila tidak, barangkali
orang akan menyebutnya sebagai mahluk aneh.
Aqidah, seperti telah disebutkan, merupakan keyakinan
dengan penuh kepastian dan ketegasan yang sesuai dengan kenyataan serta digali
dari dalil-dalil yang pasti. Dengan
demikian, sudah semestinya seseorang yang menganut aqidah Islamiyah akan
senantiasa berbuat dan bersikap sesuai dengan aqidah yang diyakininya itu. Jika tidak demikian, maka tidak beda halnya
dengan orang yang meyakini realitas air mendidih dan akibat yang ditimbulkan
bagi orang yang meminumnya tetapi ia tetap juga melakukannya, akhirnya ia
merasakan akibat yang sudah diketahuinya akan terjadi seperti dalam ilustrasi
di atas.
Kemudian timbul pertanyaan, jika demikian apa
konsekuensi-otomatis-logis bagi seseorang yang telah menganut aqidah Islamiyah?
Ada beberapa hal utama yang penting didarahdagingkan dalam diri muslim yang
telah menganut aqidah islamiyah, diantaraanya :
·
Menjadikan
aqidah Islamiyah sebagai landasan dan asas berpikir (qo'idah fikriyah).
Aqidah Islamiyah merupakan landasan dan asas berpikir
bermakna bahwa seluruh pemikiran, ide-ide, dan konsepsi tentang segala perkara
harus lahir dari aqidah Islamiyah. Di samping itu, tolok ukur untuk menilai
apakah suatu konsepsi itu benar atau salah adalah aqidah Islamiyah. Konsepsi
yang bertentangan dengan aqidah Islamiyah pasti konsepsi itu keliru, sebaliknya
konsepsi yang sesuai dengan aqidah Islamiyah itulah yang tepat. Sebagai contoh; ketika seseorang membaca
tulisan, pemberitaan, dan propaganda tentang demokrasi; ia tidak serta merta
menerimanya. Sebaliknya, seorang muslim
akan mengkaji terlebih dahulu apa sebenarnya hakikat demokrasi yang berintikan
kedaulatan di tangan rakyat yang ddiwakili oleh wakilnya. Dengan kata lain,
menurut kaca mata demokrasi rakyatlah melalui wakilnya yang berhak menghalalkan
atau mengharamkan sesuatu, serta yang berhak menyatakan mana yang benar mana
yang salah. Lalu, ia mempelajari konsepsi
Islam yang lahir dari aqidah Islamiyah tentang hal ini. Ditemukannyalah bahwa dalam pandangan aqidah
Islamiyah yang berhak menentukan halal-haramnya sesuatu dan benar-salahnya
sesuatu adalah Allah SWT yang menjelaskannya di dalam Al-Quran dan Hadits Nabi,
bukannya manusia baik rakyat ataupun pemegang kekuasaan. Dengan demikian, ia akan menyatakan bahwa
demokrasi bertentangan dengan Islam. Demikian pula terhadap perkara-perkara
lain seperti emansipasi, nasionalisme, PBB, pemecahan masalah ekonomi, sosial,
politik, dan budaya, semuanya ddistandarisasi dan digali dari aturan-aturan
yang lahir dari aqidah islamiyah. Seorang muslim yang senantiasa menilai segala
perkara dengan landasan aqidah Islamiyah dikatakan telah menjadikan aqidah
Islamiyah tersebut sebagai qoidah fikriyah.
Banyak sekali teks-teks Al-Quran yang memerintahkan kaum
muslimin untuk menjadikan aqidah Islamiyah sebagai landasan berpikirnya. Salah
satunya adalah firman Allah SWT di dalam surat Ibrahim ayat 24 dan 25 yang
maknanya sebagai berikut :
"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Aallah SWT telah
membuat perumpamaan kalimaat yang baik (kalimah thoyyibah) seperti pohon yang
baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan
buahnya tiap musim dengan seizin Robb-nya.
Allahh SWT membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya
mereka ingat."
Kata kalimah thoyyibah dalam ayat tadi dimaknai oleh
mayoritas ahli tafsir sebagai aqidah Islamiyah. Ibnu Abbas mengatakan "kalimah thoyyibah adalah la ilahha
illallah", sedangkan Mujahid dan Ibnu Juraij menyatakan:"Kalimah thoyyibah adalah Iman/aqidah
islamiyah." (Lihat Al-Jami' li
ahkamil Quran, IX, hal. 359). Jelaslah dalam ayat itu bahwa aqidah
Islamiyah merupakan pangkal dari pemikiran-pemikiran Islam seperti halnya
pangkal pohon yang menghasilkan buah sepanjang masa.
Demikian pula, Rasulullah Saw. telah mengajarkan kepada
para sahabat bahwa landasan pemikiran itu adalah aqidah islamiyah. Pernah suatu
ketika terjadi gerhana matahari bertepatan dengan wafatnya putra beliau yang
masih kecil, Ibrahim. Orang-orang Arab waktu itu ramai bergunjing bahwa
terjadinya gerhana itu akibat putra Rasul meninggal. Setelah perkatan mereka
sampai pada Rasul Saw. beliau mengeluarkan statemen:
"Gerhana matahari dan gerhana bulan merupakan dua diantara
tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, bukan karena hidup atau matinya seseorang
..."
Dalam kasus di atas nabi Saw. menghubungkan gerhana
dengan aqidah islamiyah. Berdasarkan hal ini dapat dipahami bahwa aqidah
islamiyah harus dijadikan sebagai landasan berpikir.
·
Menghambakan
diri hanya kepada Allah SWT.
Akar dari aqidah Islamiyah adalah La ilaha illallah, Muhammadu rasulullah. Pernyataan la ilaha illallah menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah
dalam kedudukan sebagai Pengatur, Pemelihara, dan Pencipta selain Allah SWT. Di dalam kosa kata Arab Ilah artinya ma'bud, yakni yang disembah (yang
diperhamba). Dan penghambaan ('ubudiyah)
adalah ketundukan mutlak, pengakuan kelemahan yang total serta penyerahan
segala pengaturan kepada yangg disembah (ma'bud).
Dengan demikian, selain Allah SWT, baik berhala hidup atau mati, berbentuk
manusia atau bukan, tidak berhak diperhamba karena mereka semua lemah, tidak
mampu menciptakan sesuatu apapun. Firman Allah SWT :
"Itulah Allah SWT Rabb kalian, tidak ada sesembahan selain
Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Ia."(QS.
Al-An'am : 102)
Terma-terma 'ubudiyah dalam Al-Quran tidak semata
bersifat kerohanian semata, melainkan berupa penghambaan total manusia kepada
Allah SWT, ketundukaan menyeluruh dari manusia kepada Sang Pencipta dalam
segala aspek kehidupannya. Dengan demikian seorang muslim menjalani kehidupan
ini diatur dan "disetir" oleh perintah dan larangan Allah SWT, baik
dalam masalah pribadi, keluarga, kelompok, masyarakat, maupun negara. Dengan
demikian, di dalam kalimat La ilaha illah
terkandung juga makna bahwa tidak ada yang berhak menetapkan peraturan (syara)
selain Allah SWT. Hal ini dapat dipahami dari beberapa ayat berikut:
"Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintaghkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yaang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui"
(QS. Yusuf : 40)
"Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah; kepada-Nyalah aku
bertawakkal; dan hendaklah kepadanya bertawakkal orang-orang yang
bertawakkal." (QS. Yusuf : 67)
"Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum
Allah bagi orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah : 50)
·
Hanya
mengikuti aturan yang berasal dari Muhammad SAW.
Telah disebutkan bahwa hak menetapkan aturan yang harus
diikuti seorang muslim hanyalah Allah SWT.
Dari pernyataan ini akan muncul pertanyaan "Darimana kita
mengetahui hukum yang berasal dari Allah SWT?" Jawabannya terdapat di
dalam pernyataan Muhammadu Rasulullah.
Di dalam pernyataan tersebut terkandung makna bahwa syariat (aturan) yang
diridhoi oleh Allah bagi manusia adalah aturan-aturan yang telah diturunkan
oleh-Nya kepada Muhammad SAW melalui wahyu, bukan yang diajarkan Plato,
Voltaire, John Lock, J. J. Rousou, ataupun Marx. Dengan demikian setelah turunnya wahyu kepada
Rasulullah SAW, orang yang betul-betul berkehendak mengesakan Allah SWT dalam
penghambaan dan aturan sudah semestimya mengikuti agama yang dibawa oleh
Muhammad SAW, sebab dialah yang membawa risalah dari Allah SWT Yang Maha Gagah
untuk disampaikan kepada manusia yang memang serba lemah, serba kurang, dan
serba butuh pengaturan dari Dzat Yang Maha Tahu. Jadi, orang yang menganut
aqidah Islamiyah akan mengikuti hanya jalan dan aturan yang dibawa oleh
Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT.
Hal ini dapat dipahami dari ayat-ayat berikut :
"Kemudian Kami jadikan kamu (Muhammad) berada di atas
suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat ittu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui."(QS.
Al-Jatsiyah:18)
"Katakanlah : Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(QS.
Ali Imran : 31)
"Demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman sampai mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai haakim (pemutus aturan) dalam perkara
diantara mereka, lalu mereka tidak menemukan di dalam diri mereka sendiri suatu
keberatan pun atas apa yang engkau putuskan, dan mereka berserah diri secara
bulat"(QS. An-Nisa : 65)
Berdasarkan bahasan sekilas tadi, dapat dikatakan bahwa
semua orang yang memeluk aqidah islamiyah dengan sebenar-benarnya akan berupaya
keras menjadikan aqidah tersebut sebagai landasan berpikir, berperilaku, dan
berkepribadian; juga sebagai landasan dalam penentuan peraturan dan
perundang-undangan dalam segala aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya;
baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun bernegara. Ini semua terjadi
sebagai konsekuensi-otomatis-logis pemelukan aqidah Islamiyyah. Wallahu A'lam.o
Langganan:
Postingan (Atom)