Akal manusia
mampu membuktikan kebenaran suatu hal yang berada di luar jangkauannya, jika
ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti
perkataan seorang Baduy (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya “Dengan apa
engkau mengenal Rabbmu ?” Jawabnya :
“Tahi
onta itu menunjukkan adanya onta, dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada
orang yang berjalan. “
Oleh
karena itu, ayat-ayat Al-Quran adalah bukti eksistensi Allah (tentang adanya
al-kholiq/Sang pencipta) dengan cara mengajak manusia memperhatikan
makhluk-makhluk-Nya. Sebab kalau akal diajak untuk mencari Dzat-Nya maka tentu
saja akal tidak mampu menjangkaunya, seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya
pada langit dan bumi benar-benar terdapat kekuasaan Allah untuk orang-orang
yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang
bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
meyakini.” (QS. Al-Jaatsiyat: 3-4).
Karena
keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir
langsung tentang dzat Allah sudah berada di luar kemampuan akal untuk
menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia
hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT
dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
“Berfikirlah kamu tentang makhluk
Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang dzat Allah, sebab kamu tidak akan
sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya” (HR.
Abu Nu’im dalam Al-Hidayah, sifatnya marfu’, sanadnya dhoif tetapi isinya
shohih).
Akal
manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang dzat Allah yang
sebenarnya, bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas
Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur
atau dianalisa. Ia tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun. Semisal manusia,
makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Dengan
demikian beriman kepada keberadaan (wujud) Allah diperoleh dengan jalan berfikir/aqli. Dengan berfikir dan melakukan
perenungan yang mendalam akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa segala sesuatu
itu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya. Hal ini dapat diterangkan
sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal
terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ketiga
unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah, kurang, dan saling membutuhkan
kepada yang lain. Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan
berkembang tergantung kepada yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat
dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari
‘ketiadaannya’ sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya.
Begitu
pula dengan kehidupan, ia bersifat terbatas pula, sebab
penampakkan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita
saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu
individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula
halnya dengan alam semesta. Ia pun bersifat terbatas. Sebab alam semesta itu
hanyalah merupakan himpunan benda-bneda di bumi dan di angkasa dimana setiap
benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas
dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta itu pun bersifat
terbatas. Kini jelaslah bahwa AMK, ketiganya bersifat terbatas (termasuk
memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Apabila
kita melihat kepada segala hal yang bersifat terbatas, akan didapati bahwa
segala hal tersebut tidak azali (azali tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab
apabila ia azali bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak,
keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya pencipta yang
mengadakannya, atau mewajibkan adanya ‘sesuatu yang lain’. Dan ‘sesuatu yang
lain’ inilah Al-kholiq yang menciptakan AMK.
Sesungguhnya
bagi setiap orang yang mempunyai akal, hanya dengan perantaraan wujud
benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda-
benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab dapat disaksikan
bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling
membutuhkan kepada yang lain. Yakinlah bahwa semua hanyalah makhluk. Oleh
karena itu, untuk membuktikan adanya Al-Kholiq yang Maha Pengatur, sebenarnya
cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta,
kehidupan, dan di dalam manusia itu sendiri.
Oleh
karena itu dijumpai bahwa Al-Quran senantiasa melontarkan pandangannya kepada
benda-benda yang ada di sekitar manusia sambil mengajak menusia untuk turut
mengamatinya serta mengamati segala yang ada di sekelilingnya dan apa yang
berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan
mengamati benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan manusia
terhadap adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa
adanya keraguan. Di dalam Al-Quran telah dibeberkan banyak ayat yang berkenaan
dengan hal ini, antara lain firman Allah:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi , dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi
orang yang berakal. “ (QS. Ali Imran : 190).
Juga firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan warna
kulitmu.” (QS. Ar-Rum: 22).
Serta
firman-Nya yang lain seperti Q. S. Al-Ghaasiyah : 17-20 juga Ath-Thariq : 5-7
atau juga firman-Nya yang berikut:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air dan
awan yang dikendalikan antar langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu
terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS.
Al-Baqarah : 164).
Ditambah
lagi dengan ayat-ayat lain yang serupa, yang mengajak manusia untuk
memperhatikan dengan seksama terhadap benda-benda alam, serta melihat apa yang
ada di sekelilingnya dan yang berhubungan dengannya (dari segi keberadaannya)
untuk dijadikan petunjuk atas adanya Pencipta yang Maha Pengatur. Sehingga
dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar
dari akal dan bukti.
Adapun
beriman kepada sifat-sifat dan asmaul husna Allah didapatkan dengan cara naqli/wahyu. Perkara ini tidak bisa
dijangkau langsung oleh panca indra, akan tetapi membutuhkan sejumlah ma’lummat
(informasi), yakni wahyu.
Iman Kepada Malaikat
Iman
kepada malaikat berdasarkan dalil naqli,
sebab akal tidak pernah mampu menjangkau eksistensi/keberadaan Malaikat. Dalil
syara’ tentang adanya malaikat berasal dari ayat-ayat Al-Quran dan sunnah rasul
diantaranya adalah firman Allah SWT:
“Allah telah terangkan bahwasanya tidak ada ilah selain
Dia, Yang menegakkan keadilan dan disaksikan oleh para malaikat dan ahli-ahli
ilmu. Tidak ada Ilah selain Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana” (QS.
Ali-Imran : 18).
Kitab-kitab
yang berasal dari firman Allah SWT seluruhnya ada empat macam, yaitu Al-Quran
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Taurat yang diturunkan kepada Nabi
Musa a.s. Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud as. Dan Injil yang diturunkan
kepada hamba Allah dan Rasul-Nya, Nabi Isa A.s. Sementara itu firman Allah
dalam bentuk shuhuf, misalnya adalah apa yang dibenarkan kepada Nabi Ibrahim
a.s.
Beriman
terhadap kitab Allah mempunyai sandaran yang berasal dari pemahaman dalil aqli dan naqli. Adapun mengenai penjelasan dalil-dalil tersebut, maka
Al-Quran adalah kitab yang berbeda dengan kitab-kitab lainnya. Secara
faktual/nyata, Al-Quran merupakan suatu kenyataan yang bisa dijangkau panca
indera dan akal, dapat dipikirkan atau dibuktikan kebenarannya.
Tidak
demikian halnya dengan kitab samawi lainnya. Kitab tersebut faktanya sudah
tidak ada, sehingga akal sudah tidak mampu membahas dan membuktikan
kebenarannya (bahwa kitab iut berasal dari Allah). Sebab kitab-kitab tersebut
tidak mengandung mukjizat yang bisa dijangkau akal manusia (terutama manusia
pada zaman kini). Juga Nabi yang membawanya tidak menjadikannya (Taurat, Zabur,
dan Injil) sebagai bukti tentang kenabiannya. Walaupun demikian, kita wajib
meyakini kitab-kitab tersebut pernah diwahyukan kepada nabi-nabi dan
rasul-rasul terdahulu, baik yang diberitakan dalam Al-Quran maupun yang tidak
diberitakan.
Karena
itu, dalil keimanan terhadap kitab-kitab suci selain Al-Quran, adalah dalil naqli, yakni berdasarkan (ditunjukan)
oleh Al-Quran dan Hadist Rasul yag pasti, seperti firman Alah SWT :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab-kitab yang Allah telah turunkan
kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah telah turunkan sebelumnya. Siapa saja
yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan hari kiamat, maka sesungguhnya telah sesat
sejauh-jauhnya.” (Q. S. An-Nisaa : 136).
Iman Kepada Rasul
Beriman
kepada kenabian Muhammad SAW, dapat dibuktikan secara aqli dengan mukjizatnya yang abadi, yaitu Al-Quran. Ia adalah
Kalamullah, yang telah membungkam orang-orang kafir, terdiam tak mampu
menandingi atau mendatangkan satu surat saja semisal Al-Quran. Hal ini menjadi
dalil yang meyakinkan bahwa Muhammad SAW adalah seorang nabi dan rasul. Sebab,
suatu mukjizat hanya diberikan Allah kepada para nabi dan rasul. Allah SWT
berfirman :
“(Dan) jika kalian tetap meragukan Al-Quran
yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad SAW), maka buatlah satu surat
(saja) semisal Al-Quran dan ajaklah para penolong selain Allah, jika kalian
orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah : 23).
Disamping
kita percaya kepada kenabian dan kerasulan Muhammad SAW, kita wajib percaya
pula bahwa Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin
(penutup para nabi). Dikalangan ummat Islam sejak sahabat hingga kini, bahkan
sampai akhir jaman nanti wajib mentaati konsensus bahwa nabi dan rasul penutup
(akhir) adalah Muhammad SAW, sehingga tidak ada lagi nabi dan rasul sesudahnya
sampai hari kiamat. Konsensus ummat Islam mengenai hal ini adalah berdasarkan :
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari
seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah rasulullah dan penutup
nabi-nabi. Dan adalah Allah Mahatahu segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab : 40)
“Sesungguhnya risalah kenabian itu telah
habis. Maka tidak ada nabi dan rasul sesudahnya.” (Imam Ahmad bin Hambal
dari Anas bin Malik).
“Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan
nabi-nabi sebelumku adalah sama dengan seorang yang membuat sebuah rumah;
diperindah dan diperbagusnya (serta diselesaikan segala sesuatunya) kecuali
tempat (yang disiapkan) untuk sebuah batu bata di sudut rumah itu. Orang-orang
yang mengelilingi rumah itu mengaguminya, tetapi bertanya; “Mengapa engkau
belum memasang batu bata itu ? Nabi pun berkata ‘Sayalah batu bata (terakhir)
-sebagai penyempurna -itu, dan sayalah penutup para nabi’.” (Imam Bukhari,
Ahmad Ibnu Hibban dari Abi Hurairah).
Adapun
beriman kepada nabi dan rasul sebelum Muhammad SAW dengan dalil naqli. Al-Quran menjelaskan bahwa mereka
diutus oleh Allah dengan syari’at masing-masing. Namun diantara mereka tidak
ada perbedaan dalam hal menyeru kepada tauhid.
“...beriman kepada Allah, malaikat,
kitab, dan rasul yang tidak ada perbedaan satu dengan yang lainnya diantara
mereka.” (QS. Al-Baqarah : 285).
Iman Kepada Hari Akhir
Seorang
muslim beriman bahwa kehidupan di dunia akan musnah dan berakhir kemudian
berganti dengan kehidupan kedua di alam akhirat. Keyakinan terhadap alam
akhirat/hari kiamat ini merupakan bagian dari rukun iman (dasar-dasar
keimanan). Adapun bukti-bukti adanya hari kiamat, sekaligus dalil keimanannya,
berasal dari wahyu (ayat-ayat) Allah dan hadist Rasul. Dasar pemahamannya
berdasarkan dalil naqli, bukan dalil aqli. Sebab, hari kiamat adalah sesuatu
yang tidak terjangkau panca indera manusia, sehingga akal tidak mampu
menemukannya dengan pasti berdasarkan usaha pengindraan terhadap sesuatu. Tanpa
adanya berita tentang hari kiamat dari wahyu Allah, maka manusia tidak
mengetahui apakah ada atau tidak hari kebangkitan sesudah mati, serta bagaimana
bentuk kehidupan sesudah mati itu? Dalil-dalil naqli yang menjelaskan tentang hari kiamat tersebut diantaranya adalah
:
“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa
mereka sekali-kali tidak dibangkitkan. Katakanlah, Tidak demikian. Demi
Tuhanku, kalian benar-benar pasti dibangkitkan, kemudian akan diberikan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Hal demikian adalah mudah bagi Allah”.
(QS. At-taghaabun : 7).
Hadist
shohih, ketika jibril mengajarkan kepada Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Umar bin Khaththab :
“Ketika Jibril menanyakan kepada Rasulullah
tentang iman, maka Rasulullah menjawab : “Hendaklah engkau beriman kepada
Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, juga kepada hari
kiamat. Dan hendaklah engkau beriman kepada Qodar yang baik dan buruk (dari
Allah)”.
Qadar
Iman
kepada qadar/takdir merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap muslim, sebab hal
ini memiliki sandaran nash-nash Al-Quran yang pasti serta dijelaskan oleh
Rasulullah SAW dalam sunnahnya (Q. S. An-Naml : 57, At-Taubah :51, Al-Hadid :
22, dan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab; ketika
itu malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dan bertanya yang artinya
“Coba ceritakan apa iman itu ? Lalu
Rasululah menjawab : Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan percaya kepada takdir baik dan
buruknya berasal dari Allah SWT ”.
Iman
kepada takdir berbeda dengan iman kepada ‘Qadha dan Qadar’, ia bukan lahir dari
nash-nash syara’ secara langsung. Istilah ‘Qadha dan Qadar’, sebagai istilah
tertentu yang bermakna pula, tidak didapatkan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
Kalau kita kaji dari buku-buku hadist, kita tidak akan menemukan masalah ini
(qadha dan qadar). Kita hanya akan menemukan pembahasan taqdir (atau al-qadar
yang bermakna takdir). Misalnya dalam Shahih Bukhari hadist no. 6594-6620 dan
Shahih Muslim no. 2634-2664; yang merupakan bab khusus tentang masalah takdir.
Di dalam Al-Quran sendiri tidak ada istilah ‘Qadha dan Qadar’ yang digabungkan
itu dan keduanya hanya ditemukan terpisah.
Tiadanya
istilah qadha dan qadar (yang digabungkan, dan memiliki makna tertentu pula)
tersebut, karena memang masalah ini baru muncul pada masa tabi’in (setelah masa
shahabat), pada akhir abad pertama Hijriyah (awal abad kedua Hijriyah).
Seorang
muslim beriman dan yakin bahwa semua keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh
Allah SWT (karena memang Allah Maha Mengetahui segala sesuatu/bersifat Al-’Alim), baik kejadian yang telah
terjadi, sedang maupun yang akan terjadi. Kejadian apapun bentuknya telah
diketahui oleh Allah SWT dan dituliskan di Lauhul
Mahfuzh (kitab induk dan gambaran umum luasnya ilmu Allah SWT).
Inilah
pengertian sederhana dari takdir yang telah dijelaskan oleh Al-Quran dan hadist
Rasulullah SAW. Dengan kata lain takdir adalah catatan (ilmu Allah) yang
menyeluruh tentang segala sesuatu, semuanya telah tercatat/diketahui oleh Allah
SWT dan dituliskan di Lauhul Mahfuzh.
Adapun masalah ‘Qadha dan Qadar’ memerlukan penjelasan yang lain yang lebih
terperinci dan tidak diuraikan dalam makalah ini.
Akal manusia
mampu membuktikan kebenaran suatu hal yang berada di luar jangkauannya, jika
ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti
perkataan seorang Baduy (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya “Dengan apa
engkau mengenal Rabbmu ?” Jawabnya :
“Tahi
onta itu menunjukkan adanya onta, dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada
orang yang berjalan. “
Oleh
karena itu, ayat-ayat Al-Quran adalah bukti eksistensi Allah (tentang adanya
al-kholiq/Sang pencipta) dengan cara mengajak manusia memperhatikan
makhluk-makhluk-Nya. Sebab kalau akal diajak untuk mencari Dzat-Nya maka tentu
saja akal tidak mampu menjangkaunya, seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya
pada langit dan bumi benar-benar terdapat kekuasaan Allah untuk orang-orang
yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang
bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
meyakini.” (QS. Al-Jaatsiyat: 3-4).
Karena
keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir
langsung tentang dzat Allah sudah berada di luar kemampuan akal untuk
menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia
hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT
dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
“Berfikirlah kamu tentang makhluk
Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang dzat Allah, sebab kamu tidak akan
sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya” (HR.
Abu Nu’im dalam Al-Hidayah, sifatnya marfu’, sanadnya dhoif tetapi isinya
shohih).
Akal
manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang dzat Allah yang
sebenarnya, bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas
Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur
atau dianalisa. Ia tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun. Semisal manusia,
makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Dengan
demikian beriman kepada keberadaan (wujud) Allah diperoleh dengan jalan berfikir/aqli. Dengan berfikir dan melakukan
perenungan yang mendalam akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa segala sesuatu
itu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya. Hal ini dapat diterangkan
sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal
terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ketiga
unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah, kurang, dan saling membutuhkan
kepada yang lain. Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan
berkembang tergantung kepada yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat
dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari
‘ketiadaannya’ sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya.
Begitu
pula dengan kehidupan, ia bersifat terbatas pula, sebab
penampakkan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita
saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu
individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula
halnya dengan alam semesta. Ia pun bersifat terbatas. Sebab alam semesta itu
hanyalah merupakan himpunan benda-bneda di bumi dan di angkasa dimana setiap
benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas
dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta itu pun bersifat
terbatas. Kini jelaslah bahwa AMK, ketiganya bersifat terbatas (termasuk
memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Apabila
kita melihat kepada segala hal yang bersifat terbatas, akan didapati bahwa
segala hal tersebut tidak azali (azali tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab
apabila ia azali bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak,
keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya pencipta yang
mengadakannya, atau mewajibkan adanya ‘sesuatu yang lain’. Dan ‘sesuatu yang
lain’ inilah Al-kholiq yang menciptakan AMK.
Sesungguhnya
bagi setiap orang yang mempunyai akal, hanya dengan perantaraan wujud
benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda-
benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab dapat disaksikan
bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling
membutuhkan kepada yang lain. Yakinlah bahwa semua hanyalah makhluk. Oleh
karena itu, untuk membuktikan adanya Al-Kholiq yang Maha Pengatur, sebenarnya
cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta,
kehidupan, dan di dalam manusia itu sendiri.
Oleh
karena itu dijumpai bahwa Al-Quran senantiasa melontarkan pandangannya kepada
benda-benda yang ada di sekitar manusia sambil mengajak menusia untuk turut
mengamatinya serta mengamati segala yang ada di sekelilingnya dan apa yang
berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan
mengamati benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan manusia
terhadap adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa
adanya keraguan. Di dalam Al-Quran telah dibeberkan banyak ayat yang berkenaan
dengan hal ini, antara lain firman Allah:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi , dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi
orang yang berakal. “ (QS. Ali Imran : 190).
Juga firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan warna
kulitmu.” (QS. Ar-Rum: 22).
Serta
firman-Nya yang lain seperti Q. S. Al-Ghaasiyah : 17-20 juga Ath-Thariq : 5-7
atau juga firman-Nya yang berikut:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air dan
awan yang dikendalikan antar langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu
terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS.
Al-Baqarah : 164).
Ditambah
lagi dengan ayat-ayat lain yang serupa, yang mengajak manusia untuk
memperhatikan dengan seksama terhadap benda-benda alam, serta melihat apa yang
ada di sekelilingnya dan yang berhubungan dengannya (dari segi keberadaannya)
untuk dijadikan petunjuk atas adanya Pencipta yang Maha Pengatur. Sehingga
dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar
dari akal dan bukti.
Adapun
beriman kepada sifat-sifat dan asmaul husna Allah didapatkan dengan cara naqli/wahyu. Perkara ini tidak bisa
dijangkau langsung oleh panca indra, akan tetapi membutuhkan sejumlah ma’lummat
(informasi), yakni wahyu.
Konsekuensi Memeluk
Aqidah Islamiyah
Dalam kehidupan ini, manusia yang "normal"
tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya. Ambil saja suatu contoh tentang seseorang
yang sedang memasak air. Setelah mendidih, ia melihat didihan tersebut. Orang itu pun menyadari dan meyakini betul
bahwa air yang mendidih tadi pasti panasnya. Selain itu, ia berpendirian bahwa
bila air mendidih itu diminum niscaya akan rusaklah lidah, serta rontoklah
giginya. Bila demikian keadaannya, tentu
saja ia tidak akan serta merta meminum air yang mendidih tadi sekalipun ia
dahaga sekali. Andaikan, orang itu tetap
juga meminumnya padahal ia tahu dan sadar betul akan kondisi air itu,
konsekuensi dan dampak meminumnya akan dideritanya; akan macam-macamlah pandangan
orang terhadapnya. Bahkan, boleh jadi
ada orang yang mengatakan bahwa ia gila,
sebab meyakini keadaan air mendidih dengan segala akibatnya tetapi masih
melanggar apa yang diyakininya itu. Inilah suatu gambaran dalam kehidupan bahwa
orang yang "normal" akan melakukan sesuatu sesuai dengan
keyakinannya. Bila tidak, barangkali
orang akan menyebutnya sebagai mahluk aneh.
Aqidah, seperti telah disebutkan, merupakan keyakinan
dengan penuh kepastian dan ketegasan yang sesuai dengan kenyataan serta digali
dari dalil-dalil yang pasti. Dengan
demikian, sudah semestinya seseorang yang menganut aqidah Islamiyah akan
senantiasa berbuat dan bersikap sesuai dengan aqidah yang diyakininya itu. Jika tidak demikian, maka tidak beda halnya
dengan orang yang meyakini realitas air mendidih dan akibat yang ditimbulkan
bagi orang yang meminumnya tetapi ia tetap juga melakukannya, akhirnya ia
merasakan akibat yang sudah diketahuinya akan terjadi seperti dalam ilustrasi
di atas.
Kemudian timbul pertanyaan, jika demikian apa
konsekuensi-otomatis-logis bagi seseorang yang telah menganut aqidah Islamiyah?
Ada beberapa hal utama yang penting didarahdagingkan dalam diri muslim yang
telah menganut aqidah islamiyah, diantaraanya :
·
Menjadikan
aqidah Islamiyah sebagai landasan dan asas berpikir (qo'idah fikriyah).
Aqidah Islamiyah merupakan landasan dan asas berpikir
bermakna bahwa seluruh pemikiran, ide-ide, dan konsepsi tentang segala perkara
harus lahir dari aqidah Islamiyah. Di samping itu, tolok ukur untuk menilai
apakah suatu konsepsi itu benar atau salah adalah aqidah Islamiyah. Konsepsi
yang bertentangan dengan aqidah Islamiyah pasti konsepsi itu keliru, sebaliknya
konsepsi yang sesuai dengan aqidah Islamiyah itulah yang tepat. Sebagai contoh; ketika seseorang membaca
tulisan, pemberitaan, dan propaganda tentang demokrasi; ia tidak serta merta
menerimanya. Sebaliknya, seorang muslim
akan mengkaji terlebih dahulu apa sebenarnya hakikat demokrasi yang berintikan
kedaulatan di tangan rakyat yang ddiwakili oleh wakilnya. Dengan kata lain,
menurut kaca mata demokrasi rakyatlah melalui wakilnya yang berhak menghalalkan
atau mengharamkan sesuatu, serta yang berhak menyatakan mana yang benar mana
yang salah. Lalu, ia mempelajari konsepsi
Islam yang lahir dari aqidah Islamiyah tentang hal ini. Ditemukannyalah bahwa dalam pandangan aqidah
Islamiyah yang berhak menentukan halal-haramnya sesuatu dan benar-salahnya
sesuatu adalah Allah SWT yang menjelaskannya di dalam Al-Quran dan Hadits Nabi,
bukannya manusia baik rakyat ataupun pemegang kekuasaan. Dengan demikian, ia akan menyatakan bahwa
demokrasi bertentangan dengan Islam. Demikian pula terhadap perkara-perkara
lain seperti emansipasi, nasionalisme, PBB, pemecahan masalah ekonomi, sosial,
politik, dan budaya, semuanya ddistandarisasi dan digali dari aturan-aturan
yang lahir dari aqidah islamiyah. Seorang muslim yang senantiasa menilai segala
perkara dengan landasan aqidah Islamiyah dikatakan telah menjadikan aqidah
Islamiyah tersebut sebagai qoidah fikriyah.
Banyak sekali teks-teks Al-Quran yang memerintahkan kaum
muslimin untuk menjadikan aqidah Islamiyah sebagai landasan berpikirnya. Salah
satunya adalah firman Allah SWT di dalam surat Ibrahim ayat 24 dan 25 yang
maknanya sebagai berikut :
"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Aallah SWT telah
membuat perumpamaan kalimaat yang baik (kalimah thoyyibah) seperti pohon yang
baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan
buahnya tiap musim dengan seizin Robb-nya.
Allahh SWT membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya
mereka ingat."
Kata kalimah thoyyibah dalam ayat tadi dimaknai oleh
mayoritas ahli tafsir sebagai aqidah Islamiyah. Ibnu Abbas mengatakan "kalimah thoyyibah adalah la ilahha
illallah", sedangkan Mujahid dan Ibnu Juraij menyatakan:"Kalimah thoyyibah adalah Iman/aqidah
islamiyah." (Lihat Al-Jami' li
ahkamil Quran, IX, hal. 359). Jelaslah dalam ayat itu bahwa aqidah
Islamiyah merupakan pangkal dari pemikiran-pemikiran Islam seperti halnya
pangkal pohon yang menghasilkan buah sepanjang masa.
Demikian pula, Rasulullah Saw. telah mengajarkan kepada
para sahabat bahwa landasan pemikiran itu adalah aqidah islamiyah. Pernah suatu
ketika terjadi gerhana matahari bertepatan dengan wafatnya putra beliau yang
masih kecil, Ibrahim. Orang-orang Arab waktu itu ramai bergunjing bahwa
terjadinya gerhana itu akibat putra Rasul meninggal. Setelah perkatan mereka
sampai pada Rasul Saw. beliau mengeluarkan statemen:
"Gerhana matahari dan gerhana bulan merupakan dua diantara
tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, bukan karena hidup atau matinya seseorang
..."
Dalam kasus di atas nabi Saw. menghubungkan gerhana
dengan aqidah islamiyah. Berdasarkan hal ini dapat dipahami bahwa aqidah
islamiyah harus dijadikan sebagai landasan berpikir.
·
Menghambakan
diri hanya kepada Allah SWT.
Akar dari aqidah Islamiyah adalah La ilaha illallah, Muhammadu rasulullah. Pernyataan la ilaha illallah menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah
dalam kedudukan sebagai Pengatur, Pemelihara, dan Pencipta selain Allah SWT. Di dalam kosa kata Arab Ilah artinya ma'bud, yakni yang disembah (yang
diperhamba). Dan penghambaan ('ubudiyah)
adalah ketundukan mutlak, pengakuan kelemahan yang total serta penyerahan
segala pengaturan kepada yangg disembah (ma'bud).
Dengan demikian, selain Allah SWT, baik berhala hidup atau mati, berbentuk
manusia atau bukan, tidak berhak diperhamba karena mereka semua lemah, tidak
mampu menciptakan sesuatu apapun. Firman Allah SWT :
"Itulah Allah SWT Rabb kalian, tidak ada sesembahan selain
Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Ia."(QS.
Al-An'am : 102)
Terma-terma 'ubudiyah dalam Al-Quran tidak semata
bersifat kerohanian semata, melainkan berupa penghambaan total manusia kepada
Allah SWT, ketundukaan menyeluruh dari manusia kepada Sang Pencipta dalam
segala aspek kehidupannya. Dengan demikian seorang muslim menjalani kehidupan
ini diatur dan "disetir" oleh perintah dan larangan Allah SWT, baik
dalam masalah pribadi, keluarga, kelompok, masyarakat, maupun negara. Dengan
demikian, di dalam kalimat La ilaha illah
terkandung juga makna bahwa tidak ada yang berhak menetapkan peraturan (syara)
selain Allah SWT. Hal ini dapat dipahami dari beberapa ayat berikut:
"Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintaghkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yaang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui"
(QS. Yusuf : 40)
"Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah; kepada-Nyalah aku
bertawakkal; dan hendaklah kepadanya bertawakkal orang-orang yang
bertawakkal." (QS. Yusuf : 67)
"Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum
Allah bagi orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah : 50)
·
Hanya
mengikuti aturan yang berasal dari Muhammad SAW.
Telah disebutkan bahwa hak menetapkan aturan yang harus
diikuti seorang muslim hanyalah Allah SWT.
Dari pernyataan ini akan muncul pertanyaan "Darimana kita
mengetahui hukum yang berasal dari Allah SWT?" Jawabannya terdapat di
dalam pernyataan Muhammadu Rasulullah.
Di dalam pernyataan tersebut terkandung makna bahwa syariat (aturan) yang
diridhoi oleh Allah bagi manusia adalah aturan-aturan yang telah diturunkan
oleh-Nya kepada Muhammad SAW melalui wahyu, bukan yang diajarkan Plato,
Voltaire, John Lock, J. J. Rousou, ataupun Marx. Dengan demikian setelah turunnya wahyu kepada
Rasulullah SAW, orang yang betul-betul berkehendak mengesakan Allah SWT dalam
penghambaan dan aturan sudah semestimya mengikuti agama yang dibawa oleh
Muhammad SAW, sebab dialah yang membawa risalah dari Allah SWT Yang Maha Gagah
untuk disampaikan kepada manusia yang memang serba lemah, serba kurang, dan
serba butuh pengaturan dari Dzat Yang Maha Tahu. Jadi, orang yang menganut
aqidah Islamiyah akan mengikuti hanya jalan dan aturan yang dibawa oleh
Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT.
Hal ini dapat dipahami dari ayat-ayat berikut :
"Kemudian Kami jadikan kamu (Muhammad) berada di atas
suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat ittu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui."(QS.
Al-Jatsiyah:18)
"Katakanlah : Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(QS.
Ali Imran : 31)
"Demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman sampai mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai haakim (pemutus aturan) dalam perkara
diantara mereka, lalu mereka tidak menemukan di dalam diri mereka sendiri suatu
keberatan pun atas apa yang engkau putuskan, dan mereka berserah diri secara
bulat"(QS. An-Nisa : 65)
Berdasarkan bahasan sekilas tadi, dapat dikatakan bahwa
semua orang yang memeluk aqidah islamiyah dengan sebenar-benarnya akan berupaya
keras menjadikan aqidah tersebut sebagai landasan berpikir, berperilaku, dan
berkepribadian; juga sebagai landasan dalam penentuan peraturan dan
perundang-undangan dalam segala aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya;
baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun bernegara. Ini semua terjadi
sebagai konsekuensi-otomatis-logis pemelukan aqidah Islamiyyah. Wallahu A'lam.o
Proses Mencapai
Keimanan Sempurna
Uqdatul Kubro
Disaat manusia mulai beranjak dewasa, yang ditandai oleh
kesempurnaan akalnya, maka semenjak itu ia mulai berpikir tentang
'keberadaan'-nya di dunia ini. Ia mulai berpikir tentang beberapa pertanyaan
mendasar yang sangat perlu, bahkan harus, ia jawab. Jawaban tersebut haruslah
jawaban yang memuaskan akal dan menenangkan jiwanya karena jawaban itu pula
yang akan menjadi landasan kehidupan pada masa-masa selanjutnya. Maka, selama
masalah ini belum terjawab, selama itu pula manusia tidak akan berjalan di
dunia dengan tenang. Tanpa jawaban tersebut, ia ibarat manusia tersesat tanpa
tujuan yang jelas. Karena sifatnya yang demikian, beberapa pertanyaan pokok dan
mendasar ini sering disebut sebagai uqdatul
kobro (masalah/ simpul yang sangat besar).
Pertanyaan mendasar tersebut berupa pertanyaan "dari manakah asal manusia dan
kehidupan ini?", "mau kemana manusia dan kehidupan setelah
ini?" dan "untuk apa manusia dan kehidupan ini
ada?" Bila pertanyaan ini terjawab, --terlepas dari jawabannya benar atau salah--
maka seseorang akan memiliki landasan kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan
kehidupannya itu sendiri. Selanjutnya berjalanlah ia di dunia ini dengan
landasan/dasar tersebut; ia berbuat dengan standar dan nilai yang berdasarkan
landasan tersebut. Berekonomi dan berbudaya berdasar landasan tersebut, bahkan
ia akan mengajak orang/kaum lain agar mengikuti landasan tersebut.
Sebenarnya, jawaban tersebut sekaligus menjadi pemahaman
(mafaahim) orang/ kaum tersebut
terhadap kehidupan ini. Seseorang atau suatu kaum yang menyelesaikan uqdatul kubro tersebut dengan jawaban: “kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya, manusia berasal dari tanah/
materi dan kelak akan kembali lagi menjadi materi/ benda, sehingga manusia
hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup"; maka
mereka akan hidup dengan aturan yang dibuatnya sendiri, dengan standar
baik-buruk yang ia kehendaki. Mereka akan berbudaya, berekonomi dan berpolitik
untuk mencapai kebahagiaan material, selama mereka mampu hidup. Orang dan kaum
seperti ini tidak meyakini adanya hal ghaib (ruh, akhirat, pahala-dosa dsb),
diluar materi.
Sementara itu seseorang
atau suatu kaum yang menjawab: "dibalik
alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam,
termasuk dirinya, memberi tugas/ amanah kehidupan pada manusia dan kelak ada
kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatannya di
dunia"; maka mereka akan hidup, berekonomi, berbudaya, berpolitik dan
berinteraksi dengan kaum lain, berdasarkan aturan Sang Pencipta tersebut.
Standar baik-buruk berdasar aturan Sang Pencipta, dan sekaligus menjadi standar
amal yang harus dipertanggungjawabkannya di hadapan Sang Pencipta.
Demikian gambaran ringkas tentang landasan kehidupan
seseorang/ suatu kaum, yang sekaligus merupakan jawaban uqdatul kubro manusia.
Hanya saja gambaran tersebut belum menjelaskan tentang landasan kehidupan mana
yang benar dan mana yang salah.
Pemecahan Shohih 'Uqdatul kubro
Dengan berbagai upaya, manusia mencoba mencari jawaban
tersebut melalui segala hal yang dapat dijangkau akalnya. Karena segala hal
yang dapat dijangkau akal manusia, tidak lepas dari alam semesta (al kaun), manusia (al insaan) dan kehidupan (al
hayaat), maka ketiga hal inilah yang dijadikan obyek/media berpikir untuk
mencari jawaban yang dimaksud.
Pemecahan yang benar terhadap masalah ini tidak akan
terbentuk kecuali dengan pemikiran yang jernih dan menyeluruh tentang alam
semesta (al-kaun), manusia (al-insaan) dan kehidupan (al-hayaat), serta
hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini.
Islam telah memberi jawaban melalui proses berpikir yang jernih. Jawaban
tersebut memuaskan/ sesuai dengan akal, menentramkan jiwa dan sesuai dengan
fitrah manusia.
Karenanya, Islam memberi jawaban tuntas yang
shohih/benar, yang lahir dari proses berpikir jernih dan menyeluruh. Islam
menjawab bahwa dibalik alam semesta, manusia dan kehidupan ada Al-Kholiq (Sang
Pencipta), yang mengadakan semua itu dari tidak ada menjadi ada. Al-Kholiq itu
bersifat Wajibul wujud (wajib/pasti adanya) --karena kalau tidak demikian maka
ia tidak mampu menjadi Al-Khaliq--. Ia pun bukan makhluk karena sifatnya
sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukanlah makhluk.
Bukti bahwa segala sesuatu itu mengharuskan adanya
Pencipta yang menciptakannya dapat
diterangkan sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau
oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan.
Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah (tidak dapat berbuat
sesuatu dengan dirinya sendiri-red.), serba kurang dan saling membutuhkan
kepada yang lain. Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan
berkembang tergantung terhadap segala sesuatu yang lain, sampai suatu batas
yang tidak dapat dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas,
mulai dari 'ketiadaannya' sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya.
Begitu pula halnya dengan kehidupan (nyawa-red.), ia bersifat terbatas pula, sebab
penampakan/ perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita
saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu
individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula
halnya dengan alam semesta. Ia pun bersifat terbatas. Sebab alam semesta itu
hanyalah merupakan himpunan benda-benda di bumi dan angkasa dimana setiap benda
tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan
sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi alam semesta itupun bersifat terbatas.
Kini jelaslah bahwa manusia, kehidupan, dan alam semesta, ketiganya bersifat
terbatas (termasuk memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Apabila kita melihat kepada segala hal yang bersifat
terbatas, akan didapati bahwa segala
hal tersebut tidak azali ( azaliy = tidak berawal dan berakhir). Sebab apabila ia
azali, bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak, keberadaan
semua yang terbatas ini membutuhkan adanya pencipta yang mengadakannya, atau
mewajibkan adanya 'sesuatu yang lain'.
Dan 'sesuatu yang lain' inilah Al-Khaliq, yang menciptakan manusia,
kehidupan dan alam semesta.
Dalam menentukan sifat Al-Khaliq/ Pencipta ini dapat kita
temukan adanya tiga kemungkinan. Pertama,
Ia diciptakan oleh yang lain. Kedua,
Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Ketiga,
Ia bersifat azali dan wajibul wujud dan mutlak keberadaannya. Dengan pemikiran
aqliyah yang jernih dan mendalam, akan dipahami bahwa: kemungkinan pertama yang
mengatakan bahwasanya Ia diciptakan oleh yang lain adalah kemungkinan yang
bathil (tidak dapat diterima oleh akal). Sebab dengan demikian Ia adalah mahluk
dan bersifat terbatas, yaitu butuh kepada yang lain untuk mengadakannya.
Demikian pula kemungkinan kedua yang menyatakan bahwasanya Ia menciptakan
diri-Nya sendiri adalah kemungkinan yang bathil juga. Karena dengan demikian Ia
akan menjadi makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Jelas ini tidak dapat
diterima oleh akal. Maka dari itu, hanya kemungkinan yang ketiga-lah yang
shohih, yakni Al-Khaliq itu tidak boleh
tidak harus bersifat azali dan wajibul
wujud serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT.
Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai akal, hanya
dengan perantaraan wujud benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami
bahwa dibalik benda-benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya.
Sebab dapat disaksikan bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba kurang,
sangat lemah, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Yakinlah bahwa semuanya
hanyalah makhluk. Oleh karena itu untuk membuktikan adanya Khaliq yang Maha
Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di
alam semesta, kehidupan, dan di dalam diri manusia itu sendiri.
Dengan mengamati salah
satu planet yang ada di alam semesta, misal saja Bumi, akan kita dapati betapa
teraturnya gerak bumi dan segala kejadian di dalamnya. Jarak bumi dengan
matahari yang sangat 'pas' menyebabkan bumi bisa menjadi tempat kehidupan
manusia. Andai bumi lebih dekat kepada matahari beberapa puluh kilometer saja
suhu bumi akan sangat panas yang menghancurkan kehidupan. Begitu pula andai
jarak bumi lebih jauh beberapa puluh kilometer dari matahari, tentu suhu di
bumi akan sangat dingin membekukan segala kehidupan yang ada. Dengan metode
yang sama kita pun dapat merenungi salah satu gejala kehidupan, atau
menyelami salah satu segi di dalam diri manusia, akan memberikan bukti yang
nyata terhadap adanya Allah SWT, Sang Pencipta
dan Pengatur.
Karena itu kita jumpai bahwa Al-Qur'an senantiasa
melontarkan pandangannya kepada benda-benda yang ada di sekitar manusia sambil
mengajak manusia untuk turut mengamatinya serta mengamati segala apa yang ada
di sekelilingnya dan apa yang berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan
adanya Allah SWT. Sebab dengan mengamati benda-benda akan memberikan suatu
pemahaman yang menyakinkan manusia terhadap adanya Allah Yang Maha Pencipta
lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa ada keraguan. Di dalam Al-Qur'an telah
dibeberkan banyak ayat yang berkenaan dengan hal ini, antara lain firman Allah :
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang
berakal" (QS Ali Imran 190)
Juga Firman-Nya :
"(Dan) Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainnya bahasa dan warna
kulitmu" (QS Ar-Rum 22).
Serta firman-Nya yang
lain seperti QS. Al-Ghasiyah : 17-20, juga QS. Ath-Thariq: 5-7, atau juga
firman-Nya berikut :
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering) dan Ia sebarkan di
bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran air dan awan yang dikendalikan antar
lagit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda (Keesaan dan
Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan"
(QS Al-Baqarah 164).
Ditambah lagi dengan ayat-ayat lain yang serupa, yang
mengajak manusia untuk memperhatikan dengan seksama terhadap benda-benda alam,
serta melihat apa yang ada disekelilingnya dan yang berhubungan dengannya (dari
segi keberadaannya-pen) untuk dijadikan petunjuk atas adanya Pencipta yang Maha
Pengatur. Sehingga dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang
mantap, yang berakar dari akal dan bukti.
Inilah jawaban shohih secara ringkas tentang keberadaan
Al-Khaliq dibalik manusia, alam semesta dan kehidupan.
Sifat Fitri Keimanan
Memang benar, bahwa iman kepada Yang Maha Pengatur ini
merupakan suatu hal yang fithri dalam diri setiap manusia. Akan tetapi iman
yang fithri ini hanya muncul dari perasaan hati yang ikhlas belaka. Dan proses
semacam ini tidak bisa dianggap aman akibatnya serta tidak akan membawa sesuatu
ketetapan/keyakinan apabila ditinggalkan (tanpa dikaitkan dengan akal-red.).
Sebab perasaan hati semacam ini sering menambah-nambah terhadap apa yang
diimani dengan sesuatu yang realistis. Bahkan mengkhayalkannya dengan
sifat-sifat tertentu yang lazim terhadap apa yang ia imani sehingga dapat
menjerumuskan ke arah kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala, khurafat
(cerita bohong) dan kebatilan, tak lain
akibat salahnya perasaan hati. Maka dari itu Islam tidak membiarkan perasaan
hati ini sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Hal seperti ini tidak akan
menambah-nambah atas Dzat Allah dengan sifat-sifat yang bertentangan dengan
sifat-sifat Ketuhanan, atau menghayalkan penjelmaan-Nya dalam benda-benda, atau
juga menggambarkan suatu kemungkinan untuk mendekatkan diri kepada-Nya melalui
penyembahan benda-benda yang dapat menjurus ke kekufuran atau penyekutuan
terhadap Allah, atau ke arah dugaan yang salah dan khurafat yang senantiasa
ditolak oleh iman yang lurus. Oleh karena itu Islam menegaskan penggunaan akal
ber-sama-sama dengan perasaan hati dan mewajibkan atas setiap muslim untuk
menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT serta melarang bertaklid dalam urusan aqidah. Untuk
ini Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah.
Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal" (QS Ali Imran 190)
Oleh karena itu maka wajib bagi setiap muslim untuk
menjadikan imannya betul-betul timbul dari proses berfikir, penelitian, dan
memperhatikan serta bertahkim pada akalnya dalam beriman kepada Allah SWT
secara mutlak. Dan ajakan untuk memperhatikan alam semesta dengan seksama dalam
rangka mencari sunnatullah serta guna memperoleh petunjuk untuk beriman
terhadap Penciptanya. Al-Qur'an telah menyebut hal tersebut dalam puluhan
ayatnya. Semua ini ditujukan terhadap unsur-unsur pemikiran yang dimiliki
manusia agar dapat mengajaknya untuk berfikir serta merenung sehingga imannya
betul-betul muncul dari akal dan bukti. Hal ini juga memperingatkan manusia untuk tidak mengambil
jalan yang telah ditempuh oleh nenek moyangnya yang telah merasa puas terhadap
apa yang telah mereka temui tanpa meneliti dan mengujinya lagi untuk mengetahui
kebenaranya.
Inilah iman yang telah diserukan oleh Islam. Dan iman
semacam ini bukanlah seperti yang dikatakan orang sebagai imannya orang-orang
yang lemah melainkan inilah iman yang jernih, yang menyakinkan, yang senantiasa
memandang dan berfikir lalu sampai kepada yakin akan adanya Allah Yang
Mahakuasa lewat pengamatan dan perenungannya tersebut.
Batas Akal Dalam Memahami Al-Khaliq
Kendati wajib atas manusia untuk menggunakan akalnya
dalam beriman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin baginya untuk memahami apa
yang ada diluar jangkauan indra dan akalnya. Hal ini karena akal manusia
terbatas sifat dan kekuatannya. Betapapun tinggi tingkatannya tetap saja ia
terbatas dan tumbuh dalam batas-batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Karena
itu pemahamannya pun terbatas.
Oleh karenanya, akal tidak mampu untuk memahami Dzat
Allah dan hakekatNya, sebab Allah berada diluar ketiga unsur pokok alami yang
dapat diindera manusia (alam semesta, manusia dan kehidupan). Akal manusia itu
sendiri tidak mampu untuk memahami apa yang ada dibalik dirinya, maka tentu
saja ia tidak mampu untuk mencapai Dzat Allah. Hanya saja tidak dapat
dikatakan: "Bagaimana mungkin orang
dapat beriman kepada adanya Allah SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu
memahami Dzat Allah?" Tidak,
tidak bisa dikatakan demikian, sebab
pada hakekatnya iman itu adalah percaya akan adanya (wujud/keberadaan-Nya) Allah, dimana
wujud Allah ini dapat dipahami melalui wujud makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam
semesta, manusia dan kehidupan. Ketiganya ini berada dalam batas-batas yang
dapat dicapai oleh akal.
Dengan memahami ketiga hal itu, orang dapat memahami
adanya Khaliq, yaitu Allah SWT. Karenanya, iman kepada adanya Allah harus
berdasarkan akal dan dalam jangkauan akal. Berlainan halnya jika orang hendak
memahami Dzat Allah dimana hal ini mustahil terjadi. Sebab Dzat-Nya berada
diluar unsur alam semesta, manusia dan kehidupan. Jadi Ia berada diluar
jangkauan kemampuan akal. Padahal akal itu sendiri tidak mungkin memahami
hakekat apa yang berada diluar jangkauannya, disebabkan keterbatasannya untuk
dapat melakukan hal itu. Bahkan keterbatasan itu, menjadi faktor penguat iman,
bukan malah menjadi penyebab keragu-raguan dan syak.
Sesungguhnya apabila iman kita kepada Allah SWT muncul
dari akal, pemahaman kita terhadap adanya Al-Kholiq pun akan menjadi sempurna
pula. Apabila perasaan hati (yang timbul dari fithrah-red.) yang
mengatakan adanya Allah dibarengi oleh akal maka perasaan
semacam ini akan tumbuh menjadi suatu keyakinan yang kokoh. Kesemuanya ini akan
memberikan pada diri kita suatu pemahaman yang sempurna serta perasaan yang
yakin atas semua sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya hal ini akan
meyakinkan diri kita bahwa kita tidak akan sanggup memahami hakekat Dzat Allah,
justru karena kuatnya iman kita kepada-Nya. Selain itu hal ini juga meyakinkan
kita bahwa kita wajib mempercayai segala
apa yang dikabarkan Allah tentang hal-hal yang tidak sanggup dicerna oleh akal
atau dipahaminya. Hal ini disebabkan oleh lemahnya akal manusia untuk memahami
apa yang ada diluar jangkauannya dengan menggunakan ukuran-ukuran nisbi yang
serba terbatas kemampuannya. Padahal untuk memahami hal semacam ini diperlukan
ukuran-ukuran yang tidak nisbi dan tidak terbatas, yang justru tidak dimiliki
oleh manusia. Bahkan tidak mampu untuk dimiliki.
Kebutuhan Manusia Terhadap Rasul
Adapun bukti mengenai kebutuhan manusia terhadap para
rasul dapat kita lihat dari terbuktinya manusia sebagai makhluk Allah SWT yang
bersifat terbatas, akal dan kemampuannya. Juga dapat dilihat dari terbuktinya
agama itu sebagai suatu hal yang fitri dalam diri manusia, karena ia merupakan
salah satu fitrah pen-taqdis-an
(pengagungan dan pensucian-red.) manusia. Dalam fitrahnya itu manusia
senantiasa mentaqdiskan Penciptanya. Pekerjaan mentaqdiskan inilah yang
selanjutnya dikenal sebagai ibadah, yang
merupakan tali penghubung antara manusia dan Penciptanya. Apabila hubungan ini
dibiarkan sendiri tanpa aturan akan cenderung terjadi kekacauan ibadah serta
menyebabkan terjadinya penyembahan terhadap selain dari pencipta yang
sebenarnya. Jadi harus ada aturan tertentu yang mengatur hubungan ini dengan
baik. Hanya saja aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, karena ia
sendiri tidak mampu memahami hakekat Khaliq (maksudnya tentang perbuatannya,
apakah perbuatan itu diterima atau ditolak oleh Khaliq-red.) untuk dapat
meletakkan aturan antara dirinya dengan Sang Pencipta. Oleh karena itu aturan
ini harus datang dari Khaliq. Karenanya aturan ini harus sampai ke tangan
manusia, maka tidak boleh tidak harus ada para rasul yang menyampaikan agama Allah ini kepada umat
manusia.
Bukti lain akan kebutuhan manusia terhadap para rasul
adalah bahwa pemuasan manusia akan tuntutan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan
gharizah/ nalurinya merupakan hal yang
mutlak perlu. Pemuasan semacam ini apabila dibiarkan berjalan tanpa suatu
aturan akan menjurus ke arah pemuasan yang salah dan berlebihan serta akan
menyebabkan malapetaka terhadap umat manusia. Oleh karena itu harus ada aturan
yang mengatur gharizah dan kebutuhan-kebutuhan jasmani ini. Hanya saja aturan
ini tidak boleh datang dari pihak manusia, sebab pemahamannya dalam mengatur
gharizah dan kebutuhan-kebutuhan jasmani senantiasa menjadi obyek (sasaran)
kekeliruan, perselisihan dan keterpengaruhan oleh lingkungan yang didiaminya.
Apabila ia dibiarkan membuat aturan sendiri, maka aturan yang ia buat pun
menjadi subyek kekeliruan, perselisihan, dan pertentangan yang akan
menjerumuskan manusia ke dalam kenestapaan. Maka dari itu aturan tersebut harus
datang dari Allah SWT, yang untuk dapat sampai ke tangan manusia, haruslah
melalui seorang rasul.
Bukti Al-Quran Kalamullah
Adapun bukti -yang sangat mudah- bahwa Al-Qur'an itu
datang dari Allah dapat dilihat dari kenyataan/fakta bahwa Al-Qur'an itu sebuah
kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena fakta tersebut,
maka dalam upaya menentukan 'dari mana' asal Al-Qur'an itu, dapat kita jumpai
adanya tiga kemungkinan. Pertama, ia
merupakan karangan bangsa Arab. Kedua, ia merupakan karangan Muhammad
SAW. Ketiga, ia berasal dari Allah
semata, sebagaimana pernyataan pembawanya. Tidak ada kemungkinan lain selain
dari yang ketiga ini. Sebab Al-Qur'an adalah khas Arab, baik dari segi bahasa
maupun sastranya.
Kemungkinan yang
pertama, yang mengatakan bahwa Al-Qur'an merupakan karangan bangsa Arab
adalah suatu kemungkinan yang bathil. Sebab Al-Qur'an sendiri telah menantang
mereka (bangsa Arab) untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana tertera dalam
ayat:
“Katakanlah: 'Maka datangkanlah sepuluh surat yang
menyamainya" (QS. Yunus 105)
"Katakanlah: Kalau benar yang kamu katakan maka cobalah
datangkan sebuah surat yang menyerupainya"
(QS Yunus 38)
Bangsa Arab telah berusaha untuk menghasilkan karya yang
serupa, akan tetapi mereka tidak juga berhasil. Jadi Al-Qur'an bukan berasal
dari perkataan mereka karena ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan karya
yang serupa. Kendati ada tantangan dari Al-Qur'an dan usaha dari mereka untuk
membuat karya yang serupa.
Adapun kemungkinan yang
kedua, yang mengatakan bahwa Al-Qur'an itu karangan Muhammad SAW, adalah
kemungkinan yang bathil pula. Sebab Muhammad adalah orang Arab juga.
Bagaimanapun jeniusnya, tetaplah ia sebagai seorang manusia yang menjadi salah
satu anggota dari masyarakat atau bangsanya. Selama bangsa Arab tidak mampu
menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad SAW yang
orang Arab itu juga tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Jadi jelaslah
bahwasanya Al-Quran itu bukan
karangannya.
Hal tersebut makin diperkuat lagi dengan banyaknya
hadits-hadits shahih yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, yang sebagian malah
diriwayatkan lewat cara tawatur yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Apabila
setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al-Qur'an maka tidak
akan dijumpai adanya kemiripan dari segi
gaya bahasa (uslub). Padahal Nabi Muhammad SAW disamping selalu
membacakan setiap ayat-ayat yang diterimanya, juga dalam waktu yang bersamaan
(selama bertahun-tahun) mengeluarkan hadits pula. Akan tetapi keduanya tetap
berbeda dari segi gaya bahasanya. Dan bagaimanapun kerasnya seseorang untuk
menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap akan
terdapat kemiripan antara gaya bahasa yang satu dengan gaya bahasa yang lain.
Sebab hal ini merupakan bagian dari dirinya. Jadi karena tidak ada kemiripan
antara gaya bahasa Al-Qur'an dengan gaya bahasa hadits maka yakinlah bahwa
Al-Qur'an itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW, disebabkan terdapat perbedaan
yang tegas dan jelas antara keduanya. Oleh karena tidak seorang pun dari orang
Arab yang bisa menuduh bahwa Al-Qur'an itu perkatan Muhammad atau mirip dengan
gaya bahasa pembicaraannya, justru karena mereka memiliki pemahaman yang begitu
dalam akan gaya bahasa mereka sendiri.
Maka terbantahlah kemungkinan pertama dan kedua.
Tinggallah kini tuduhan lain yang mereka lontarkan, yaitu bahwa Al-Qur'an itu
disadur oleh Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani bernama Jabr.
Tuduhan ini ditolak keras oleh Allah SWT melalui firmanNya:
"(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata,
'Sesungguhnya Al-Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya
(Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar
kepadanya (adalah) bahasa 'ajami (non Arab), sedangkan Al-Qur'an itu dalam
bahasa Arab yang jelas" (QS An-Nahl 103)
Apabila kini telah terbukti bahwa Al-Qur'an itu bukan
karangan bangsa Arab, dan bukan pula karangan Muhammad SAW, maka yakinlah bahwa
Al-Qur'an itu merupakan perkataan Allah
(kalam Allah) yang menjadi mukjizat bagi orang yang membawanya (yaitu Muhammad
SAW-pen). Tidak ada kemungkinan lain selain ini, dilihat dari kenyataan bahwa
Al-Quran itu berbahasa Arab.
Karena Nabi Muhammad orang yang membawa Al-Qur'an yang
merupakan perkataan dan syariat, sedangkan tidak ada yang membawa syariat-Nya
melainkan para Nabi dan Rasul, maka berdasarkan akal dapat diyakini bahwa
Muhammad SAW itu seorang Nabi dan Rasul.
Demikian uraian-uraian singkat namun jelas dan tegas
tentang dalil aqli untuk beriman kepada
(wujudnya) Allah, kepada kebenaran kerasulan Muhammad SAW dan kepada Al-Qur'an,
bahwasanya Al-Qur'an itu merupakan kalam Allah.
Konsekuensi Iman Kepada Allah,
Rasulullah SAW, dan Al-Quran
Jadi iman kepada (wujud) Allah itu datang dari akal, dan
memang harus datang dari jalan seperti ini. Ini pula yang menjadi dasar kuat
untuk beriman terhadap hal-hal ghaib dan segala hal yang dikabarkan oleh Allah
SWT. Sebab jika kita telah beriman kepada Allah SWT, yang memiliki sifat-sifat
Ketuhanan itu, maka wajib pula bagi kita untuk beriman terhadap apa saja yang
dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dicerna oleh akal maupun tidak, karena
semua itu dikabarkan oleh Allah SWT.
Dari sini kita wajib beriman kepada hari kebangkitan dan
pengumpulan (Ba'ats), surga dan
neraka, hisab dan siksa, juga beriman akan adanya malaikat, jin dan syaithan,
serta apa saja yang telah diterangkan Al-Qur'an dan hadits
muttawatir. Iman seperti ini walaupun didapat dengan jalan 'mengutip' (naql) dan 'mendengar' (sama'), akan tetapi pada dasarnya telah
terbukti oleh akal. Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal
atau pada sesuatu yang telah terbukti dasarnya oleh akal. Karena seorang muslim
wajib mengi'tiqadkan segala sesuatu yang telah terbukti dengan akal atau yang
datang dari sumber berita yang yakin dan pasti (qath'i). Yaitu yang telah
ditetapkan oleh Al-Qur'an dan hadits qath'i (hadits mutawatir). Apa saja yang
tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash Al-Qur'an dan
hadits qath'i (mutawatir), haram baginya untuk mengi'tiqadkannya. Sebab, aqidah
tidak boleh diambil kecuali dengan kepastian (keyakinan).
Oleh karena itu kita wajib beriman kepada kehidupan
sebelum dunia, yaitu adanya Allah SWT dan proses penciptaan oleh-Nya; serta
beriman kepada kehidupan setelah dunia
yaitu hari akhirat. Perintah-perintah Allah itu merupakan tali penghubung (silah) antara kehidupan dunia dengan
kehidupan sebelum dunia, yaitu hubungan penciptaan (shilatul khalq); sekaligus menjadi tali penghubung kehidupan dunia
dengan kehidupan sesudah dunia (shilatul
muhasabah). Dan pastilah hal ikhwal manusia terikat oleh tali penghubung
ini. Karenanya manusia wajib berjalan dalam kehidupan ini sesuai dengan
peraturan Allah dan wajib beri'tiqad bahwa ia diciptakan oleh Allah, dan akan dihisab di hari kiamat
atas segala perbuatannya di dunia.
Dengan demikian telah terbentuklah pemikiran yang jernih
tentang apa yang ada di balik kehidupan, alam semesta dan manusia. Serta telah
terbentuk pula pemikiran yang jernih tentang alam sebelum dan alam sesudah
dunia. Dan bahwasanya terdapat 'tali penghubung' antara dunia dengan kedua alam
tersebut. Dengan demikian telah terurailah 'masalah besar' itu
secara pasti kebenarannya dengan
aqidah Islamiyah.
Apabila manusia telah berhasil memecahkan hal tadi ia
dapat beralih memikirkan kehidupan dunia serta mewujudkan mafahim yang benar
(terhadap dunia), yang dihasilkan dari pemikiran dasar tersebut. Pemecahan itu
pula yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu prinsip ideologis kehidupan (mabda') yang membentuk jalan menuju
kebangkitan suatu kaum. Mabda itu pula yang akan menjadi dasar bagi tumbuh kembangnya peradaban (hadloroh) suatu kaum. Juga menjadi dasar
bagi peraturan-peraturan hidupnya, dan juga menjadi dasar untuk mendirikan
negaranya. Dengan demikian dasar bagi berdirinya Islam, baik secara fikroh (ide dasar) maupun thoriqah (pola operasional/metode
pelaksanaan) adalah aqidah Islam itu sendiri.
Allah SWT berfirman :
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan
kepada Kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan siapa saja yang mengingkari Allah
dan Malaikat-Nya dan Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya dan hari akhir maka ia
telah sesat sejauh-jauhnya kesesatan" (QS An-Nisa 136)
Apabila semua ini (Iman kepada Allah, dst. tadi) telah
terbukti kebenarannya, maka wajiblah bagi seluruh kaum muslimin untuk beriman
juga kepada Syariat Islam (sebagaimana ia beriman kepada Aqidah Islam). Karena
seluruh syariat ini telah tercantum dalam Al-Qur'an dan telah dibawa oleh
Rasulullah SAW. Apabila tidak beriman maka ia kufur. Oleh karena itu ingkarnya
seseorang terhadap hukum-hukum syara secara keseluruhan atau sebagian darinya
secara lebih terperinci, dapat menyebabkan ia menjadi kufur. Baik hukum-hukum
itu berkaitan dengan ibadat, muamalah, uqubat (sanksi), ataupun math'umat (yang berkaitan dengan
makanan). Maka kufur terhadap ayat:
"Dirikanlah shalat..".
sebenarnya sama saja kufur terhadap ayat "Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba"(QS
Al-Baqarah 275). Atau terhadap ayat :"Laki-laki yang
mencuri dan perempuan
yang mencuri potonglah tangan
keduanya"(QS Al-Maidah 38). Atau ayat "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah" (QS Al-Maidah
3)
Dengan demikian,
iman terhadap syari'at sebenarnya tidak berhenti pada akal semata, tetapi juga
harus ada penyerahan mutlak terhadap segala yang datang dari sisi-Nya,
sebagaimana firman Allah SWT:
"Maka demi Rabb-mu mereka itu (pada hakekatnya) tidak
beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus)
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di
hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka
menerima (pasrah) dengan sepenuhnya" (QS An-Nisa 65)
Kebangkitan Manusia
Bangkitnya
manusia tergantung dari pemikiran (fikrah-nya) tentang kehidupan, alam
semesta, dan manusia; serta hubungan
ketiganya ini dengan alam sebelum kehidupan dunia dan alam setelah kehidupan dunia. Oleh karena itu
harus ada perubahan yang mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia
dewasa ini. Kemudian diganti dengan dengan pemikiran lain agar ia bangkit.
Sebab pemikiranlah yang membentuk mafahim (pemahaman) terhadap segala sesuatu
serta memperkuatnya. Dan manusia mengatur tingkah lakunya di dalam kehidupan
ini sesuai dengan mafahimnya terhadap kehidupan. Sebagai contoh, mafahim
seseorang terhadap orang yang ia cintai akan membentuk tingkah laku tertentu
terhadapnya, yang berlawanan dengan tingkah lakunya terhadap orang yang ia
benci dimana ia akan memiliki mafahim kebencian terhadapnya. Dan akan
berlawanan pula terhadap orang yang tidak dikenalnya dimana ia tidak memiliki
mafhum apapun terhadapnya. Jadi tingkah laku manusia berkaitan erat dengan
mafahimnya. Oleh karena itu apabila kita hendak mengubah tingkah laku manusia
yang rendah menjadi yang luhur maka tidak boleh tidak kita harus mengubah
mafhumnya terlebih dahulu. AllAh SWT berfirman :
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah 'keadaan' suatu
kaum sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka"
(QS Ar-Ra'd : 11)
Satu-satunya jalan untuk mengubah mafahim adalah dengan
membentuk pemikiran tentang kehidupan dunia, agar dengannya dapat terwujud
mafahim yang benar tentang kehidupan dunia. Akan tetapi pemikiran tentang
kehidupan dunia ini tidak akan kuat terpusat hingga memberi hasil, kecuali jika
terbentuk pemikiran tentang alam semesta, manusia dan kehidupan; tentang alam
sebelum dan sesudah kehidupan dunia; dan tentang hubungan ketiga unsur tadi
dengan kedua alam ini. Hal ini dapat dicapai dengan menyampaikan (kepada
manusia-pen) pemikiran yang menyeluruh mengenai ketiga hal tersebut. Inilah
yang merupakan pemecah simpul dalam 'masalah besar' (Uqdatul Kubro ) dalam diri
manusia. Apabila masalah besar ini telah teruraikan, maka terurai pulalah
masalah yang lainnya, sebab hanya merupakan bagian atau cabang dari masalah
besar tadi. Namun pemecahan ini tidak akan mengantarkan kita kepada kebangkitan
yang benar kecuali apabila pemecahan itu sendiri juga merupakan pemecahan yang
benar. Yaitu pemecahan yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan
memberikan ketenangan hati.
Oleh karena itu bagi mereka yang menghendaki kebangkitan
dan kehidupan berada diatas jalan yang mulia harus terlebih dahulu memecahkan
masalah besar ini dengan pemecahan yang benar, yaitu melalui pemikiran yang
jernih. Pemecahan inilah yang dinamakan 'aqidah', yang merupakan landasan
berfikir bagi setiap pemikiran cabang yang berhubungan dengan perilaku serta
tata aturan dalam kehidupan.
Islam telah menangani 'masalah besar' ini. Dipecahkannya
untuk manusia dengan pemecahan yang sesuai dengan fitrah, memuaskan akal serta
memberikan ketenangan jiwa. Dan ditetapkan pula bahwasanya untuk memeluk agama
Islam itu tergantung sepenuhnya pada pengakuan terhadap pemecahan ini. Yaitu
dengan pengakuan yang betul-betul muncul dari akal. Oleh sebab itu Islam
dibangun diatas satu dasar, yaitu aqidah, yang mengatakan bahwasanya dibalik
alam semesta, manusia dan kehidupan terdapat Pencipta (Khaliq) yang telah
menciptakan ketiganya, dan yang telah menciptakan pula segala sesuatu yang
lainnya. Dialah Allah SWT. Aqidah yang mengatakan bahwasanya Pencipta ini telah
menciptakan segala sesuatu dari tidak ada. Ia bersifat wajibul wujud (wajib
adanya) -karena kalau tidak demikian maka ia tidak mampu menjadi Khaliq-, Ia
bukan makhluk, karena sifat-Nya sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-Nya
bukan makhluk, serta memastikan pula bahwa Ia mutlak adanya. Karena segala
sesuatu menyandarkan wujudnya kepada diri-Nya, sedangkan Ia tidak bersandar
kepada sesuatu apapun.o
Langganan:
Postingan (Atom)