IMAN KEPADA ALLOH


Akal manusia mampu membuktikan kebenaran suatu hal yang berada di luar jangkauannya, jika ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan seorang Baduy (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya “Dengan apa engkau mengenal Rabbmu ?” Jawabnya :
“Tahi onta itu menunjukkan adanya onta, dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan. “
Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Quran adalah bukti eksistensi Allah (tentang adanya al-kholiq/Sang pencipta) dengan cara mengajak manusia memperhatikan makhluk-makhluk-Nya. Sebab kalau akal diajak untuk mencari Dzat-Nya maka tentu saja akal tidak mampu menjangkaunya, seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang meyakini.” (QS. Al-Jaatsiyat: 3-4).
Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung tentang dzat Allah sudah berada di luar kemampuan akal untuk menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
“Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang dzat Allah, sebab kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya” (HR. Abu Nu’im dalam Al-Hidayah, sifatnya marfu’, sanadnya dhoif tetapi isinya shohih).
Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang dzat Allah yang sebenarnya, bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisa. Ia tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun. Semisal manusia, makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Dengan demikian beriman kepada keberadaan (wujud) Allah diperoleh dengan jalan berfikir/aqli. Dengan berfikir dan melakukan perenungan yang mendalam akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa segala sesuatu itu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah, kurang, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung kepada yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari ‘ketiadaannya’ sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya.
Begitu pula dengan kehidupan, ia bersifat terbatas pula, sebab penampakkan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula halnya dengan alam semesta. Ia pun bersifat terbatas. Sebab alam semesta itu hanyalah merupakan himpunan benda-bneda di bumi dan di angkasa dimana setiap benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta itu pun bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa AMK, ketiganya bersifat terbatas (termasuk memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Apabila kita melihat kepada segala hal yang bersifat terbatas, akan didapati bahwa segala hal tersebut tidak azali (azali tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab apabila ia azali bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya pencipta yang mengadakannya, atau mewajibkan adanya ‘sesuatu yang lain’. Dan ‘sesuatu yang lain’ inilah Al-kholiq yang menciptakan AMK.
Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai akal, hanya dengan perantaraan wujud benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda- benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab dapat disaksikan bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Yakinlah bahwa semua hanyalah makhluk. Oleh karena itu, untuk membuktikan adanya Al-Kholiq yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta, kehidupan, dan di dalam manusia itu sendiri.
Oleh karena itu dijumpai bahwa Al-Quran senantiasa melontarkan pandangannya kepada benda-benda yang ada di sekitar manusia sambil mengajak menusia untuk turut mengamatinya serta mengamati segala yang ada di sekelilingnya dan apa yang berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan mengamati benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan manusia terhadap adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa adanya keraguan. Di dalam Al-Quran telah dibeberkan banyak ayat yang berkenaan dengan hal ini, antara lain firman Allah:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi , dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal. “ (QS. Ali Imran : 190).
Juga firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan warna kulitmu.” (QS. Ar-Rum: 22).
Serta firman-Nya yang lain seperti Q. S. Al-Ghaasiyah : 17-20 juga Ath-Thariq : 5-7 atau juga firman-Nya yang berikut:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air dan awan yang dikendalikan antar langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah : 164).
Ditambah lagi dengan ayat-ayat lain yang serupa, yang mengajak manusia untuk memperhatikan dengan seksama terhadap benda-benda alam, serta melihat apa yang ada di sekelilingnya dan yang berhubungan dengannya (dari segi keberadaannya) untuk dijadikan petunjuk atas adanya Pencipta yang Maha Pengatur. Sehingga dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar dari akal dan bukti.
Adapun beriman kepada sifat-sifat dan asmaul husna Allah didapatkan dengan cara naqli/wahyu. Perkara ini tidak bisa dijangkau langsung oleh panca indra, akan tetapi membutuhkan sejumlah ma’lummat (informasi), yakni wahyu.

Iman Kepada Malaikat

Iman Kepada Malaikat


Iman kepada malaikat berdasarkan dalil naqli, sebab akal tidak pernah mampu menjangkau eksistensi/keberadaan Malaikat. Dalil syara’ tentang adanya malaikat berasal dari ayat-ayat Al-Quran dan sunnah rasul diantaranya adalah firman Allah SWT:
“Allah telah terangkan bahwasanya tidak ada ilah selain Dia, Yang menegakkan keadilan dan disaksikan oleh para malaikat dan ahli-ahli ilmu. Tidak ada Ilah selain Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana” (QS. Ali-Imran : 18).
Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah (sunguh-sungguh) kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (Ketahuilah bahwa) siapa saja kafir terhadap Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa : 136).

Iman Kepada Kitabullah


Kitab-kitab yang berasal dari firman Allah SWT seluruhnya ada empat macam, yaitu Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud as. Dan Injil yang diturunkan kepada hamba Allah dan Rasul-Nya, Nabi Isa A.s. Sementara itu firman Allah dalam bentuk shuhuf, misalnya adalah apa yang dibenarkan kepada Nabi Ibrahim a.s.
Beriman terhadap kitab Allah mempunyai sandaran yang berasal dari pemahaman dalil aqli dan naqli. Adapun mengenai penjelasan dalil-dalil tersebut, maka Al-Quran adalah kitab yang berbeda dengan kitab-kitab lainnya. Secara faktual/nyata, Al-Quran merupakan suatu kenyataan yang bisa dijangkau panca indera dan akal, dapat dipikirkan atau dibuktikan kebenarannya.
Tidak demikian halnya dengan kitab samawi lainnya. Kitab tersebut faktanya sudah tidak ada, sehingga akal sudah tidak mampu membahas dan membuktikan kebenarannya (bahwa kitab iut berasal dari Allah). Sebab kitab-kitab tersebut tidak mengandung mukjizat yang bisa dijangkau akal manusia (terutama manusia pada zaman kini). Juga Nabi yang membawanya tidak menjadikannya (Taurat, Zabur, dan Injil) sebagai bukti tentang kenabiannya. Walaupun demikian, kita wajib meyakini kitab-kitab tersebut pernah diwahyukan kepada nabi-nabi dan rasul-rasul terdahulu, baik yang diberitakan dalam Al-Quran maupun yang tidak diberitakan.
Karena itu, dalil keimanan terhadap kitab-kitab suci selain Al-Quran, adalah dalil naqli, yakni berdasarkan (ditunjukan) oleh Al-Quran dan Hadist Rasul yag pasti, seperti firman Alah SWT :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab-kitab yang Allah telah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah telah turunkan sebelumnya. Siapa saja yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kiamat, maka sesungguhnya telah sesat sejauh-jauhnya.” (Q. S. An-Nisaa : 136).
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa Al-Quran telah diwahyukan Allah SWT kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad SAW, melalui Malaikat Jibril as, adalah berdasarkan pada dalil aqli, yaitu dengan pembuktian dari segi ketinggian bahasa dan isi yang dikandungnya. Kedua hal ini telah menunjukkan suatu mukjizat yang amat menakjubkan dan besar, sekaligus membuktikan bahwa Al-Quran bukan hasil karya seorang manusia.

Iman Kepada Rasul


Beriman kepada kenabian Muhammad SAW, dapat dibuktikan secara aqli dengan mukjizatnya yang abadi, yaitu Al-Quran. Ia adalah Kalamullah, yang telah membungkam orang-orang kafir, terdiam tak mampu menandingi atau mendatangkan satu surat saja semisal Al-Quran. Hal ini menjadi dalil yang meyakinkan bahwa Muhammad SAW adalah seorang nabi dan rasul. Sebab, suatu mukjizat hanya diberikan Allah kepada para nabi dan rasul. Allah SWT berfirman :
(Dan) jika kalian tetap meragukan Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad SAW), maka buatlah satu surat (saja) semisal Al-Quran dan ajaklah para penolong selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah : 23).
Disamping kita percaya kepada kenabian dan kerasulan Muhammad SAW, kita wajib percaya pula bahwa Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin (penutup para nabi). Dikalangan ummat Islam sejak sahabat hingga kini, bahkan sampai akhir jaman nanti wajib mentaati konsensus bahwa nabi dan rasul penutup (akhir) adalah Muhammad SAW, sehingga tidak ada lagi nabi dan rasul sesudahnya sampai hari kiamat. Konsensus ummat Islam mengenai hal ini adalah berdasarkan :
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Mahatahu segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab : 40)
Sesungguhnya risalah kenabian itu telah habis. Maka tidak ada nabi dan rasul sesudahnya.” (Imam Ahmad bin Hambal dari Anas bin Malik).
Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan nabi-nabi sebelumku adalah sama dengan seorang yang membuat sebuah rumah; diperindah dan diperbagusnya (serta diselesaikan segala sesuatunya) kecuali tempat (yang disiapkan) untuk sebuah batu bata di sudut rumah itu. Orang-orang yang mengelilingi rumah itu mengaguminya, tetapi bertanya; “Mengapa engkau belum memasang batu bata itu ? Nabi pun berkata ‘Sayalah batu bata (terakhir) -sebagai penyempurna -itu, dan sayalah penutup para nabi’.” (Imam Bukhari, Ahmad Ibnu Hibban dari Abi Hurairah).
Adapun beriman kepada nabi dan rasul sebelum Muhammad SAW dengan dalil naqli. Al-Quran menjelaskan bahwa mereka diutus oleh Allah dengan syari’at masing-masing. Namun diantara mereka tidak ada perbedaan dalam hal menyeru kepada tauhid.
“...beriman kepada Allah, malaikat, kitab, dan rasul yang tidak ada perbedaan satu dengan yang lainnya diantara mereka.” (QS. Al-Baqarah : 285).

Iman Kepada Hari Akhir


Akal manusia mampu membuktikan kebenaran suatu hal yang berada di luar jangkauannya, jika ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan seorang Baduy (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya “Dengan apa engkau mengenal Rabbmu ?” Jawabnya :
“Tahi onta itu menunjukkan adanya onta, dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan. “
Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Quran adalah bukti eksistensi Allah (tentang adanya al-kholiq/Sang pencipta) dengan cara mengajak manusia memperhatikan makhluk-makhluk-Nya. Sebab kalau akal diajak untuk mencari Dzat-Nya maka tentu saja akal tidak mampu menjangkaunya, seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang meyakini.” (QS. Al-Jaatsiyat: 3-4).
Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung tentang dzat Allah sudah berada di luar kemampuan akal untuk menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
“Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang dzat Allah, sebab kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya” (HR. Abu Nu’im dalam Al-Hidayah, sifatnya marfu’, sanadnya dhoif tetapi isinya shohih).
Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang dzat Allah yang sebenarnya, bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisa. Ia tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun. Semisal manusia, makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Dengan demikian beriman kepada keberadaan (wujud) Allah diperoleh dengan jalan berfikir/aqli. Dengan berfikir dan melakukan perenungan yang mendalam akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa segala sesuatu itu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah, kurang, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung kepada yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari ‘ketiadaannya’ sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya.
Begitu pula dengan kehidupan, ia bersifat terbatas pula, sebab penampakkan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula halnya dengan alam semesta. Ia pun bersifat terbatas. Sebab alam semesta itu hanyalah merupakan himpunan benda-bneda di bumi dan di angkasa dimana setiap benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta itu pun bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa AMK, ketiganya bersifat terbatas (termasuk memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Apabila kita melihat kepada segala hal yang bersifat terbatas, akan didapati bahwa segala hal tersebut tidak azali (azali tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab apabila ia azali bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya pencipta yang mengadakannya, atau mewajibkan adanya ‘sesuatu yang lain’. Dan ‘sesuatu yang lain’ inilah Al-kholiq yang menciptakan AMK.
Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai akal, hanya dengan perantaraan wujud benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda- benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab dapat disaksikan bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Yakinlah bahwa semua hanyalah makhluk. Oleh karena itu, untuk membuktikan adanya Al-Kholiq yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta, kehidupan, dan di dalam manusia itu sendiri.
Oleh karena itu dijumpai bahwa Al-Quran senantiasa melontarkan pandangannya kepada benda-benda yang ada di sekitar manusia sambil mengajak menusia untuk turut mengamatinya serta mengamati segala yang ada di sekelilingnya dan apa yang berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan mengamati benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan manusia terhadap adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa adanya keraguan. Di dalam Al-Quran telah dibeberkan banyak ayat yang berkenaan dengan hal ini, antara lain firman Allah:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi , dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal. “ (QS. Ali Imran : 190).
Juga firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan warna kulitmu.” (QS. Ar-Rum: 22).
Serta firman-Nya yang lain seperti Q. S. Al-Ghaasiyah : 17-20 juga Ath-Thariq : 5-7 atau juga firman-Nya yang berikut:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air dan awan yang dikendalikan antar langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah : 164).
Ditambah lagi dengan ayat-ayat lain yang serupa, yang mengajak manusia untuk memperhatikan dengan seksama terhadap benda-benda alam, serta melihat apa yang ada di sekelilingnya dan yang berhubungan dengannya (dari segi keberadaannya) untuk dijadikan petunjuk atas adanya Pencipta yang Maha Pengatur. Sehingga dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar dari akal dan bukti.
Adapun beriman kepada sifat-sifat dan asmaul husna Allah didapatkan dengan cara naqli/wahyu. Perkara ini tidak bisa dijangkau langsung oleh panca indra, akan tetapi membutuhkan sejumlah ma’lummat (informasi), yakni wahyu.

konsekusi akidah



Konsekuensi  Memeluk
Aqidah  Islamiyah



            Dalam kehidupan ini, manusia yang "normal" tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya.  Ambil saja suatu contoh tentang seseorang yang sedang memasak air. Setelah mendidih, ia melihat didihan tersebut.  Orang itu pun menyadari dan meyakini betul bahwa air yang mendidih tadi pasti panasnya. Selain itu, ia berpendirian bahwa bila air mendidih itu diminum niscaya akan rusaklah lidah, serta rontoklah giginya.  Bila demikian keadaannya, tentu saja ia tidak akan serta merta meminum air yang mendidih tadi sekalipun ia dahaga sekali.  Andaikan, orang itu tetap juga meminumnya padahal ia tahu dan sadar betul akan kondisi air itu, konsekuensi dan dampak meminumnya akan dideritanya; akan macam-macamlah pandangan orang terhadapnya.  Bahkan, boleh jadi ada orang yang mengatakan bahwa ia gila,  sebab meyakini keadaan air mendidih dengan segala akibatnya tetapi masih melanggar apa yang diyakininya itu. Inilah suatu gambaran dalam kehidupan bahwa orang yang "normal" akan melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinannya.  Bila tidak, barangkali orang akan menyebutnya sebagai mahluk aneh.
            Aqidah, seperti telah disebutkan, merupakan keyakinan dengan penuh kepastian dan ketegasan yang sesuai dengan kenyataan serta digali dari dalil-dalil yang pasti.  Dengan demikian, sudah semestinya seseorang yang menganut aqidah Islamiyah akan senantiasa berbuat dan bersikap sesuai dengan aqidah yang diyakininya itu.  Jika tidak demikian, maka tidak beda halnya dengan orang yang meyakini realitas air mendidih dan akibat yang ditimbulkan bagi orang yang meminumnya tetapi ia tetap juga melakukannya, akhirnya ia merasakan akibat yang sudah diketahuinya akan terjadi seperti dalam ilustrasi di atas.
            Kemudian timbul pertanyaan, jika demikian apa konsekuensi-otomatis-logis bagi seseorang yang telah menganut aqidah Islamiyah? Ada beberapa hal utama yang penting didarahdagingkan dalam diri muslim yang telah menganut aqidah islamiyah, diantaraanya :

·         Menjadikan aqidah Islamiyah sebagai landasan dan asas berpikir (qo'idah fikriyah).
            Aqidah Islamiyah merupakan landasan dan asas berpikir bermakna bahwa seluruh pemikiran, ide-ide, dan konsepsi tentang segala perkara harus lahir dari aqidah Islamiyah. Di samping itu, tolok ukur untuk menilai apakah suatu konsepsi itu benar atau salah adalah aqidah Islamiyah. Konsepsi yang bertentangan dengan aqidah Islamiyah pasti konsepsi itu keliru, sebaliknya konsepsi yang sesuai dengan aqidah Islamiyah itulah yang tepat.  Sebagai contoh; ketika seseorang membaca tulisan, pemberitaan, dan propaganda tentang demokrasi; ia tidak serta merta menerimanya.  Sebaliknya, seorang muslim akan mengkaji terlebih dahulu apa sebenarnya hakikat demokrasi yang berintikan kedaulatan di tangan rakyat yang ddiwakili oleh wakilnya. Dengan kata lain, menurut kaca mata demokrasi rakyatlah melalui wakilnya yang berhak menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, serta yang berhak menyatakan mana yang benar mana yang salah.  Lalu, ia mempelajari konsepsi Islam yang lahir dari aqidah Islamiyah tentang hal ini.  Ditemukannyalah bahwa dalam pandangan aqidah Islamiyah yang berhak menentukan halal-haramnya sesuatu dan benar-salahnya sesuatu adalah Allah SWT yang menjelaskannya di dalam Al-Quran dan Hadits Nabi, bukannya manusia baik rakyat ataupun pemegang kekuasaan.  Dengan demikian, ia akan menyatakan bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam. Demikian pula terhadap perkara-perkara lain seperti emansipasi, nasionalisme, PBB, pemecahan masalah ekonomi, sosial, politik, dan budaya, semuanya ddistandarisasi dan digali dari aturan-aturan yang lahir dari aqidah islamiyah. Seorang muslim yang senantiasa menilai segala perkara dengan landasan aqidah Islamiyah dikatakan telah menjadikan aqidah Islamiyah tersebut sebagai qoidah fikriyah.
            Banyak sekali teks-teks Al-Quran yang memerintahkan kaum muslimin untuk menjadikan aqidah Islamiyah sebagai landasan berpikirnya. Salah satunya adalah firman Allah SWT di dalam surat Ibrahim ayat 24 dan 25 yang maknanya sebagai berikut :

"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Aallah SWT telah membuat perumpamaan kalimaat yang baik (kalimah thoyyibah) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya tiap musim dengan seizin Robb-nya.  Allahh SWT membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka ingat."
            Kata kalimah thoyyibah dalam ayat tadi dimaknai oleh mayoritas ahli tafsir sebagai aqidah Islamiyah. Ibnu Abbas mengatakan "kalimah thoyyibah adalah la ilahha illallah", sedangkan Mujahid dan Ibnu Juraij menyatakan:"Kalimah thoyyibah adalah Iman/aqidah islamiyah." (Lihat Al-Jami' li ahkamil Quran, IX, hal. 359). Jelaslah dalam ayat itu bahwa aqidah Islamiyah merupakan pangkal dari pemikiran-pemikiran Islam seperti halnya pangkal pohon yang menghasilkan buah sepanjang masa.
            Demikian pula, Rasulullah Saw. telah mengajarkan kepada para sahabat bahwa landasan pemikiran itu adalah aqidah islamiyah. Pernah suatu ketika terjadi gerhana matahari bertepatan dengan wafatnya putra beliau yang masih kecil, Ibrahim. Orang-orang Arab waktu itu ramai bergunjing bahwa terjadinya gerhana itu akibat putra Rasul meninggal. Setelah perkatan mereka sampai pada Rasul Saw. beliau mengeluarkan statemen:

"Gerhana matahari dan gerhana bulan merupakan dua diantara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, bukan karena hidup atau matinya seseorang ..."

            Dalam kasus di atas nabi Saw. menghubungkan gerhana dengan aqidah islamiyah. Berdasarkan hal ini dapat dipahami bahwa aqidah islamiyah harus dijadikan sebagai landasan berpikir.




·         Menghambakan diri hanya kepada Allah SWT.
            Akar dari aqidah Islamiyah adalah La ilaha illallah, Muhammadu rasulullah.  Pernyataan la ilaha illallah menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah dalam kedudukan sebagai Pengatur, Pemelihara, dan Pencipta selain Allah SWT.  Di dalam kosa kata Arab Ilah artinya ma'bud, yakni yang disembah (yang diperhamba). Dan penghambaan ('ubudiyah) adalah ketundukan mutlak, pengakuan kelemahan yang total serta penyerahan segala pengaturan kepada yangg disembah (ma'bud). Dengan demikian, selain Allah SWT, baik berhala hidup atau mati, berbentuk manusia atau bukan, tidak berhak diperhamba karena mereka semua lemah, tidak mampu menciptakan sesuatu apapun. Firman Allah SWT :

"Itulah Allah SWT Rabb kalian, tidak ada sesembahan selain Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Ia."(QS. Al-An'am : 102)

            Terma-terma 'ubudiyah dalam Al-Quran tidak semata bersifat kerohanian semata, melainkan berupa penghambaan total manusia kepada Allah SWT, ketundukaan menyeluruh dari manusia kepada Sang Pencipta dalam segala aspek kehidupannya. Dengan demikian seorang muslim menjalani kehidupan ini diatur dan "disetir" oleh perintah dan larangan Allah SWT, baik dalam masalah pribadi, keluarga, kelompok, masyarakat, maupun negara. Dengan demikian, di dalam kalimat La ilaha illah terkandung juga makna bahwa tidak ada yang berhak menetapkan peraturan (syara) selain Allah SWT. Hal ini dapat dipahami dari beberapa ayat berikut:


"Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah.  Dia telah memerintaghkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.  Itulah agama yaang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS. Yusuf : 40)

"Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah; kepada-Nyalah aku bertawakkal; dan hendaklah kepadanya bertawakkal orang-orang yang bertawakkal." (QS. Yusuf : 67)

"Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah bagi orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah : 50)

·         Hanya mengikuti aturan yang berasal dari Muhammad SAW.
            Telah disebutkan bahwa hak menetapkan aturan yang harus diikuti seorang muslim hanyalah Allah SWT.  Dari pernyataan ini akan muncul pertanyaan "Darimana kita mengetahui hukum yang berasal dari Allah SWT?" Jawabannya terdapat di dalam pernyataan Muhammadu Rasulullah. Di dalam pernyataan tersebut terkandung makna bahwa syariat (aturan) yang diridhoi oleh Allah bagi manusia adalah aturan-aturan yang telah diturunkan oleh-Nya kepada Muhammad SAW melalui wahyu, bukan yang diajarkan Plato, Voltaire, John Lock, J. J. Rousou, ataupun Marx.  Dengan demikian setelah turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW, orang yang betul-betul berkehendak mengesakan Allah SWT dalam penghambaan dan aturan sudah semestimya mengikuti agama yang dibawa oleh Muhammad SAW, sebab dialah yang membawa risalah dari Allah SWT Yang Maha Gagah untuk disampaikan kepada manusia yang memang serba lemah, serba kurang, dan serba butuh pengaturan dari Dzat Yang Maha Tahu. Jadi, orang yang menganut aqidah Islamiyah akan mengikuti hanya jalan dan aturan yang dibawa oleh Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT.  Hal ini dapat dipahami dari ayat-ayat berikut :

"Kemudian Kami jadikan kamu (Muhammad) berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat ittu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui."(QS. Al-Jatsiyah:18)

"Katakanlah : Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni  dosa-dosamu.  Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(QS. Ali Imran : 31)

"Demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman sampai mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai haakim (pemutus aturan) dalam perkara diantara mereka, lalu mereka tidak menemukan di dalam diri mereka sendiri suatu keberatan pun atas apa yang engkau putuskan, dan mereka berserah diri secara bulat"(QS. An-Nisa : 65)






















            Berdasarkan bahasan sekilas tadi, dapat dikatakan bahwa semua orang yang memeluk aqidah islamiyah dengan sebenar-benarnya akan berupaya keras menjadikan aqidah tersebut sebagai landasan berpikir, berperilaku, dan berkepribadian; juga sebagai landasan dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan dalam segala aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya; baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun bernegara. Ini semua terjadi sebagai konsekuensi-otomatis-logis pemelukan aqidah Islamiyyah. Wallahu A'lam.o

menuju iman



Proses Mencapai
Keimanan Sempurna



Uqdatul Kubro
            Disaat manusia mulai beranjak dewasa, yang ditandai oleh kesempurnaan akalnya, maka semenjak itu ia mulai berpikir tentang 'keberadaan'-nya di dunia ini. Ia mulai berpikir tentang beberapa pertanyaan mendasar yang sangat perlu, bahkan harus, ia jawab. Jawaban tersebut haruslah jawaban yang memuaskan akal dan menenangkan jiwanya karena jawaban itu pula yang akan menjadi landasan kehidupan pada masa-masa selanjutnya. Maka, selama masalah ini belum terjawab, selama itu pula manusia tidak akan berjalan di dunia dengan tenang. Tanpa jawaban tersebut, ia ibarat manusia tersesat tanpa tujuan yang jelas. Karena sifatnya yang demikian, beberapa pertanyaan pokok dan mendasar ini sering disebut sebagai uqdatul kobro (masalah/ simpul yang sangat besar). 
            Pertanyaan mendasar tersebut berupa pertanyaan "dari manakah asal manusia dan kehidupan ini?", "mau kemana manusia dan kehidupan  setelah   ini?"  dan "untuk apa manusia dan kehidupan ini ada?" Bila  pertanyaan ini terjawab,  --terlepas dari jawabannya benar atau salah-- maka seseorang akan memiliki landasan kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan kehidupannya itu sendiri. Selanjutnya berjalanlah ia di dunia ini dengan landasan/dasar tersebut; ia berbuat dengan standar dan nilai yang berdasarkan landasan tersebut. Berekonomi dan berbudaya berdasar landasan tersebut, bahkan ia akan mengajak orang/kaum lain agar mengikuti landasan tersebut.
            Sebenarnya, jawaban tersebut sekaligus menjadi pemahaman (mafaahim) orang/ kaum tersebut terhadap kehidupan ini. Seseorang atau suatu kaum yang menyelesaikan uqdatul kubro  tersebut dengan jawaban: “kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya, manusia berasal dari tanah/ materi dan kelak akan kembali lagi menjadi materi/ benda, sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup"; maka mereka akan hidup dengan aturan yang dibuatnya sendiri, dengan standar baik-buruk yang ia kehendaki. Mereka akan berbudaya, berekonomi dan berpolitik untuk mencapai kebahagiaan material, selama mereka mampu hidup. Orang dan kaum seperti ini tidak meyakini adanya hal ghaib (ruh, akhirat, pahala-dosa dsb), diluar materi.
            Sementara itu seseorang  atau suatu kaum yang menjawab: "dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas/ amanah kehidupan pada manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatannya di dunia"; maka mereka akan hidup, berekonomi, berbudaya, berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain, berdasarkan aturan Sang Pencipta tersebut. Standar baik-buruk berdasar aturan Sang Pencipta, dan sekaligus menjadi standar amal yang harus dipertanggungjawabkannya di hadapan Sang Pencipta.
            Demikian gambaran ringkas tentang landasan kehidupan seseorang/ suatu kaum, yang sekaligus merupakan jawaban uqdatul kubro manusia. Hanya saja gambaran tersebut belum menjelaskan tentang landasan kehidupan mana yang benar dan mana yang salah.

Pemecahan Shohih 'Uqdatul kubro
            Dengan berbagai upaya, manusia mencoba mencari jawaban tersebut melalui segala hal yang dapat dijangkau akalnya. Karena segala hal yang dapat dijangkau akal manusia, tidak lepas dari alam semesta (al kaun), manusia (al insaan) dan kehidupan (al hayaat), maka ketiga hal inilah yang dijadikan obyek/media berpikir untuk mencari jawaban yang dimaksud.
            Pemecahan yang benar terhadap masalah ini tidak akan terbentuk kecuali dengan pemikiran yang jernih dan menyeluruh tentang alam semesta (al-kaun), manusia (al-insaan) dan kehidupan (al-hayaat), serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Islam telah memberi jawaban melalui proses berpikir yang jernih. Jawaban tersebut  memuaskan/ sesuai dengan  akal, menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia.
            Karenanya, Islam memberi jawaban tuntas yang shohih/benar, yang lahir dari proses berpikir jernih dan menyeluruh. Islam menjawab bahwa dibalik alam semesta, manusia dan kehidupan ada Al-Kholiq (Sang Pencipta), yang mengadakan semua itu dari tidak ada menjadi ada. Al-Kholiq itu bersifat Wajibul wujud (wajib/pasti adanya) --karena kalau tidak demikian maka ia tidak mampu menjadi Al-Khaliq--. Ia pun bukan makhluk karena sifatnya sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukanlah makhluk.
            Bukti bahwa segala sesuatu itu mengharuskan adanya Pencipta  yang menciptakannya dapat diterangkan sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah (tidak dapat berbuat sesuatu dengan dirinya sendiri-red.), serba kurang dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung terhadap segala sesuatu yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari 'ketiadaannya' sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya. Begitu pula halnya dengan kehidupan (nyawa-red.), ia bersifat terbatas pula, sebab penampakan/ perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula halnya dengan alam semesta. Ia pun bersifat terbatas. Sebab alam semesta itu hanyalah merupakan himpunan benda-benda di bumi dan angkasa dimana setiap benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi alam semesta itupun bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa manusia, kehidupan, dan alam semesta, ketiganya bersifat terbatas (termasuk memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
            Apabila kita melihat kepada segala hal yang bersifat terbatas,  akan didapati bahwa segala hal  tersebut tidak azali ( azaliy = tidak berawal dan berakhir). Sebab apabila ia azali, bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya pencipta yang mengadakannya, atau mewajibkan adanya    'sesuatu yang lain'. Dan 'sesuatu yang lain'  inilah  Al-Khaliq, yang menciptakan manusia, kehidupan dan alam semesta.
            Dalam menentukan sifat Al-Khaliq/ Pencipta ini dapat kita temukan adanya tiga kemungkinan. Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Kedua, Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Ketiga, Ia bersifat azali dan wajibul wujud dan mutlak keberadaannya. Dengan pemikiran aqliyah yang jernih dan mendalam, akan dipahami bahwa: kemungkinan pertama yang mengatakan bahwasanya Ia diciptakan oleh yang lain adalah kemungkinan yang bathil (tidak dapat diterima oleh akal). Sebab dengan demikian Ia adalah mahluk dan bersifat terbatas, yaitu butuh kepada yang lain untuk mengadakannya. Demikian pula kemungkinan kedua yang menyatakan bahwasanya Ia menciptakan diri-Nya sendiri adalah kemungkinan yang bathil juga. Karena dengan demikian Ia akan menjadi makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Jelas ini tidak dapat diterima oleh akal. Maka dari itu, hanya kemungkinan yang ketiga-lah yang shohih, yakni Al-Khaliq itu  tidak boleh tidak harus bersifat azali dan wajibul wujud serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT.
            Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai akal, hanya dengan perantaraan wujud benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda-benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab dapat disaksikan bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Yakinlah bahwa semuanya hanyalah makhluk. Oleh karena itu untuk membuktikan adanya Khaliq yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta, kehidupan, dan di dalam diri manusia itu sendiri.
Dengan mengamati salah satu planet yang ada di alam semesta, misal saja Bumi, akan kita dapati betapa teraturnya gerak bumi dan segala kejadian di dalamnya. Jarak bumi dengan matahari yang sangat 'pas' menyebabkan bumi bisa menjadi tempat kehidupan manusia. Andai bumi lebih dekat kepada matahari beberapa puluh kilometer saja suhu bumi akan sangat panas yang menghancurkan kehidupan. Begitu pula andai jarak bumi lebih jauh beberapa puluh kilometer dari matahari, tentu suhu di bumi akan sangat dingin membekukan segala kehidupan yang ada. Dengan metode yang sama  kita pun dapat  merenungi salah satu gejala kehidupan, atau menyelami salah satu segi di dalam diri manusia, akan memberikan bukti yang nyata terhadap adanya Allah SWT, Sang Pencipta  dan Pengatur.
            Karena itu kita jumpai bahwa Al-Qur'an senantiasa melontarkan pandangannya kepada benda-benda yang ada di sekitar manusia sambil mengajak manusia untuk turut mengamatinya serta mengamati segala apa yang ada di sekelilingnya dan apa yang berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan mengamati benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang menyakinkan manusia terhadap adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa ada keraguan. Di dalam Al-Qur'an telah dibeberkan banyak ayat yang berkenaan dengan hal ini, antara lain firman Allah :

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal" (QS Ali Imran 190)

Juga Firman-Nya :

"(Dan) Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainnya bahasa dan warna kulitmu" (QS Ar-Rum 22).

Serta firman-Nya yang lain seperti QS. Al-Ghasiyah : 17-20, juga QS. Ath-Thariq: 5-7, atau juga firman-Nya berikut :

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering) dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran air dan awan yang dikendalikan antar lagit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan" (QS Al-Baqarah 164).

            Ditambah lagi dengan ayat-ayat lain yang serupa, yang mengajak manusia untuk memperhatikan dengan seksama terhadap benda-benda alam, serta melihat apa yang ada disekelilingnya dan yang berhubungan dengannya (dari segi keberadaannya-pen) untuk dijadikan petunjuk atas adanya Pencipta yang Maha Pengatur. Sehingga dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar dari akal dan bukti.
            Inilah jawaban shohih secara ringkas tentang keberadaan Al-Khaliq dibalik manusia, alam semesta dan kehidupan.

Sifat Fitri Keimanan
            Memang benar, bahwa iman kepada Yang Maha Pengatur ini merupakan suatu hal yang fithri dalam diri setiap manusia. Akan tetapi iman yang fithri ini hanya muncul dari perasaan hati yang ikhlas belaka. Dan proses semacam ini tidak bisa dianggap aman akibatnya serta tidak akan membawa sesuatu ketetapan/keyakinan apabila ditinggalkan (tanpa dikaitkan dengan akal-red.). Sebab perasaan hati semacam ini sering menambah-nambah terhadap apa yang diimani dengan sesuatu yang realistis. Bahkan mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang lazim terhadap apa yang ia imani sehingga dapat menjerumuskan ke arah kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong)  dan kebatilan, tak lain akibat salahnya perasaan hati. Maka dari itu Islam tidak membiarkan perasaan hati ini sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Hal seperti ini tidak akan menambah-nambah atas Dzat Allah dengan sifat-sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat Ketuhanan, atau menghayalkan penjelmaan-Nya dalam benda-benda, atau juga menggambarkan suatu kemungkinan untuk mendekatkan diri kepada-Nya melalui penyembahan benda-benda yang dapat menjurus ke kekufuran atau penyekutuan terhadap Allah, atau ke arah dugaan yang salah dan khurafat yang senantiasa ditolak oleh iman yang lurus. Oleh karena itu Islam menegaskan penggunaan akal ber-sama-sama dengan perasaan hati dan mewajibkan atas setiap muslim untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT serta  melarang bertaklid dalam urusan aqidah. Untuk ini Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal" (QS Ali Imran 190)
            Oleh karena itu maka wajib bagi setiap muslim untuk menjadikan imannya betul-betul timbul dari proses berfikir, penelitian, dan memperhatikan serta bertahkim pada akalnya dalam beriman kepada Allah SWT secara mutlak. Dan ajakan untuk memperhatikan alam semesta dengan seksama dalam rangka mencari sunnatullah serta guna memperoleh petunjuk untuk beriman terhadap Penciptanya. Al-Qur'an telah menyebut hal tersebut dalam puluhan ayatnya. Semua ini ditujukan terhadap unsur-unsur pemikiran yang dimiliki manusia agar dapat mengajaknya untuk berfikir serta merenung sehingga imannya betul-betul muncul dari akal dan bukti. Hal ini juga  memperingatkan manusia untuk tidak mengambil jalan yang telah ditempuh oleh nenek moyangnya yang telah merasa puas terhadap apa yang telah mereka temui tanpa meneliti dan mengujinya lagi untuk mengetahui kebenaranya.
            Inilah iman yang telah diserukan oleh Islam. Dan iman semacam ini bukanlah seperti yang dikatakan orang sebagai imannya orang-orang yang lemah melainkan inilah iman yang jernih, yang menyakinkan, yang senantiasa memandang dan berfikir lalu sampai kepada yakin akan adanya Allah Yang Mahakuasa lewat pengamatan dan perenungannya tersebut.

Batas Akal Dalam Memahami Al-Khaliq
            Kendati wajib atas manusia untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin baginya untuk memahami apa yang ada diluar jangkauan indra dan akalnya. Hal ini karena akal manusia terbatas sifat dan kekuatannya. Betapapun tinggi tingkatannya tetap saja ia terbatas dan tumbuh dalam batas-batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Karena itu pemahamannya pun terbatas.
            Oleh karenanya, akal tidak mampu untuk memahami Dzat Allah dan hakekatNya, sebab Allah berada diluar ketiga unsur pokok alami yang dapat diindera manusia (alam semesta, manusia dan kehidupan). Akal manusia itu sendiri tidak mampu untuk memahami apa yang ada dibalik dirinya, maka tentu saja ia tidak mampu untuk mencapai Dzat Allah. Hanya saja tidak dapat dikatakan: "Bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada adanya Allah SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Dzat Allah?"  Tidak, tidak bisa dikatakan demikian, sebab  pada hakekatnya iman itu adalah percaya akan   adanya (wujud/keberadaan-Nya) Allah, dimana wujud Allah ini dapat dipahami melalui wujud makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan. Ketiganya ini berada dalam batas-batas yang dapat dicapai oleh akal.
            Dengan memahami ketiga hal itu, orang dapat memahami adanya Khaliq, yaitu Allah SWT. Karenanya, iman kepada adanya Allah harus berdasarkan akal dan dalam jangkauan akal. Berlainan halnya jika orang hendak memahami Dzat Allah dimana hal ini mustahil terjadi. Sebab Dzat-Nya berada diluar unsur alam semesta, manusia dan kehidupan. Jadi Ia berada diluar jangkauan kemampuan akal. Padahal akal itu sendiri tidak mungkin memahami hakekat apa yang berada diluar jangkauannya, disebabkan keterbatasannya untuk dapat melakukan hal itu. Bahkan keterbatasan itu, menjadi faktor penguat iman, bukan malah menjadi penyebab keragu-raguan dan syak.
            Sesungguhnya apabila iman kita kepada Allah SWT muncul dari akal, pemahaman kita terhadap adanya Al-Kholiq pun akan menjadi sempurna pula. Apabila perasaan hati (yang timbul dari fithrah-red.) yang mengatakan  adanya  Allah dibarengi oleh akal maka perasaan semacam ini akan tumbuh menjadi suatu keyakinan yang kokoh. Kesemuanya ini akan memberikan pada diri kita suatu pemahaman yang sempurna serta perasaan yang yakin atas semua sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya hal ini akan meyakinkan diri kita bahwa kita tidak akan sanggup memahami hakekat Dzat Allah, justru karena kuatnya iman kita kepada-Nya. Selain itu hal ini juga meyakinkan kita bahwa kita wajib mempercayai  segala apa yang dikabarkan Allah tentang hal-hal yang tidak sanggup dicerna oleh akal atau dipahaminya. Hal ini disebabkan oleh lemahnya akal manusia untuk memahami apa yang ada diluar jangkauannya dengan menggunakan ukuran-ukuran nisbi yang serba terbatas kemampuannya. Padahal untuk memahami hal semacam ini diperlukan ukuran-ukuran yang tidak nisbi dan tidak terbatas, yang justru tidak dimiliki oleh manusia. Bahkan tidak mampu untuk dimiliki.

Kebutuhan Manusia Terhadap Rasul
            Adapun bukti mengenai kebutuhan manusia terhadap para rasul dapat kita lihat dari terbuktinya manusia sebagai makhluk Allah SWT yang bersifat terbatas, akal dan kemampuannya. Juga dapat dilihat dari terbuktinya agama itu sebagai suatu hal yang fitri dalam diri manusia, karena ia merupakan salah satu fitrah pen-taqdis-an (pengagungan dan pensucian-red.) manusia. Dalam fitrahnya itu manusia senantiasa mentaqdiskan Penciptanya. Pekerjaan mentaqdiskan inilah yang selanjutnya dikenal sebagai  ibadah, yang merupakan tali penghubung antara manusia dan Penciptanya. Apabila hubungan ini dibiarkan sendiri tanpa aturan akan cenderung terjadi kekacauan ibadah serta menyebabkan terjadinya penyembahan terhadap selain dari pencipta yang sebenarnya. Jadi harus ada aturan tertentu yang mengatur hubungan ini dengan baik. Hanya saja aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, karena ia sendiri tidak mampu memahami hakekat Khaliq (maksudnya tentang perbuatannya, apakah perbuatan itu diterima atau ditolak oleh Khaliq-red.) untuk dapat meletakkan aturan antara dirinya dengan Sang Pencipta. Oleh karena itu aturan ini harus datang dari Khaliq. Karenanya aturan ini harus sampai ke tangan manusia, maka tidak boleh tidak harus ada para rasul yang  menyampaikan agama Allah ini kepada umat manusia.
            Bukti lain akan kebutuhan manusia terhadap para rasul adalah bahwa pemuasan manusia akan tuntutan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan gharizah/ nalurinya  merupakan hal yang mutlak perlu. Pemuasan semacam ini apabila dibiarkan berjalan tanpa suatu aturan akan menjurus ke arah pemuasan yang salah dan berlebihan serta akan menyebabkan malapetaka terhadap umat manusia. Oleh karena itu harus ada aturan yang mengatur gharizah dan kebutuhan-kebutuhan jasmani ini. Hanya saja aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, sebab pemahamannya dalam mengatur gharizah dan kebutuhan-kebutuhan jasmani senantiasa menjadi obyek (sasaran) kekeliruan, perselisihan dan keterpengaruhan oleh lingkungan yang didiaminya. Apabila ia dibiarkan membuat aturan sendiri, maka aturan yang ia buat pun menjadi subyek kekeliruan, perselisihan, dan pertentangan yang akan menjerumuskan manusia ke dalam kenestapaan. Maka dari itu aturan tersebut harus datang dari Allah SWT, yang untuk dapat sampai ke tangan manusia, haruslah melalui seorang  rasul.

Bukti Al-Quran Kalamullah
            Adapun bukti -yang sangat mudah- bahwa Al-Qur'an itu datang dari Allah dapat dilihat dari kenyataan/fakta bahwa Al-Qur'an itu sebuah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena fakta tersebut, maka dalam upaya menentukan 'dari mana' asal Al-Qur'an itu, dapat kita jumpai adanya tiga kemungkinan. Pertama, ia merupakan karangan bangsa Arab.  Kedua, ia merupakan karangan Muhammad SAW.  Ketiga, ia berasal dari Allah semata, sebagaimana pernyataan pembawanya. Tidak ada kemungkinan lain selain dari yang ketiga ini. Sebab Al-Qur'an adalah khas Arab, baik dari segi bahasa maupun sastranya.
            Kemungkinan yang  pertama, yang mengatakan bahwa Al-Qur'an merupakan karangan bangsa Arab adalah suatu kemungkinan yang bathil. Sebab Al-Qur'an sendiri telah menantang mereka (bangsa Arab) untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana tertera dalam ayat:

“Katakanlah: 'Maka datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya" (QS. Yunus 105)

"Katakanlah: Kalau benar yang kamu katakan maka cobalah datangkan sebuah surat yang menyerupainya" (QS Yunus 38)      

            Bangsa Arab telah berusaha untuk menghasilkan karya yang serupa, akan tetapi mereka tidak juga berhasil. Jadi Al-Qur'an bukan berasal dari perkataan mereka karena ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan karya yang serupa. Kendati ada tantangan dari Al-Qur'an dan usaha dari mereka untuk membuat karya yang serupa.
            Adapun kemungkinan yang  kedua, yang mengatakan bahwa Al-Qur'an itu karangan Muhammad SAW, adalah kemungkinan yang bathil pula. Sebab Muhammad adalah orang Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetaplah ia sebagai seorang manusia yang menjadi salah satu anggota dari masyarakat atau bangsanya. Selama bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad SAW yang orang Arab itu juga tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Jadi jelaslah bahwasanya Al-Quran  itu bukan karangannya.
            Hal  tersebut  makin diperkuat lagi dengan banyaknya hadits-hadits shahih yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, yang sebagian malah diriwayatkan lewat cara tawatur yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Apabila setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al-Qur'an maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi  gaya bahasa (uslub). Padahal Nabi Muhammad SAW disamping selalu membacakan setiap ayat-ayat yang diterimanya, juga dalam waktu yang bersamaan (selama bertahun-tahun) mengeluarkan hadits pula. Akan tetapi keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Dan bagaimanapun kerasnya seseorang untuk menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap akan terdapat kemiripan antara gaya bahasa yang satu dengan gaya bahasa yang lain. Sebab hal ini merupakan bagian dari dirinya. Jadi karena tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al-Qur'an dengan gaya bahasa hadits maka yakinlah bahwa Al-Qur'an itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW, disebabkan terdapat perbedaan yang tegas dan jelas antara keduanya. Oleh karena tidak seorang pun dari orang Arab yang bisa menuduh bahwa Al-Qur'an itu perkatan Muhammad atau mirip dengan gaya bahasa pembicaraannya, justru karena mereka memiliki pemahaman yang begitu dalam akan gaya bahasa mereka sendiri.
            Maka terbantahlah kemungkinan pertama dan kedua. Tinggallah kini tuduhan lain yang mereka lontarkan, yaitu bahwa Al-Qur'an itu disadur oleh Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani bernama  Jabr. Tuduhan ini ditolak keras oleh Allah SWT melalui firmanNya:

"(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, 'Sesungguhnya Al-Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa 'ajami (non Arab), sedangkan Al-Qur'an itu dalam bahasa Arab yang jelas" (QS An-Nahl 103)

            Apabila kini telah terbukti bahwa Al-Qur'an itu bukan karangan bangsa Arab, dan bukan pula karangan Muhammad SAW, maka yakinlah bahwa Al-Qur'an itu merupakan perkataan  Allah (kalam Allah) yang menjadi mukjizat bagi orang yang membawanya (yaitu Muhammad SAW-pen). Tidak ada kemungkinan lain selain ini, dilihat dari kenyataan bahwa Al-Quran itu berbahasa Arab.
            Karena Nabi Muhammad orang yang membawa Al-Qur'an yang merupakan perkataan dan syariat, sedangkan tidak ada yang membawa syariat-Nya melainkan para Nabi dan Rasul, maka berdasarkan akal dapat diyakini bahwa Muhammad SAW itu seorang Nabi dan Rasul.
            Demikian uraian-uraian singkat namun jelas dan tegas tentang  dalil aqli untuk beriman kepada (wujudnya) Allah, kepada kebenaran kerasulan Muhammad SAW dan kepada Al-Qur'an, bahwasanya Al-Qur'an itu merupakan kalam Allah.

Konsekuensi Iman Kepada Allah,
Rasulullah SAW, dan Al-Quran
            Jadi iman kepada (wujud) Allah itu datang dari akal, dan memang harus datang dari jalan seperti ini. Ini pula yang menjadi dasar kuat untuk beriman terhadap hal-hal ghaib dan segala hal yang dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab jika kita telah beriman kepada Allah SWT, yang memiliki sifat-sifat Ketuhanan itu, maka wajib pula bagi kita untuk beriman terhadap apa saja yang dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dicerna oleh akal maupun tidak, karena semua itu dikabarkan oleh Allah SWT.
            Dari sini kita wajib beriman kepada hari kebangkitan dan pengumpulan (Ba'ats), surga dan neraka, hisab dan siksa, juga beriman akan adanya malaikat, jin dan syaithan, serta  apa saja  yang telah diterangkan Al-Qur'an dan hadits muttawatir. Iman seperti ini walaupun didapat dengan jalan 'mengutip' (naql) dan 'mendengar' (sama'), akan tetapi pada dasarnya telah terbukti oleh akal. Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti dasarnya oleh akal. Karena seorang muslim wajib mengi'tiqadkan segala sesuatu yang telah terbukti dengan akal atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan pasti (qath'i). Yaitu yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an dan hadits qath'i (hadits mutawatir). Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash Al-Qur'an dan hadits qath'i (mutawatir), haram baginya untuk mengi'tiqadkannya. Sebab, aqidah tidak boleh diambil kecuali dengan kepastian (keyakinan).
            Oleh karena itu kita wajib beriman kepada kehidupan sebelum dunia, yaitu adanya Allah SWT dan proses penciptaan oleh-Nya; serta beriman  kepada kehidupan setelah dunia yaitu hari akhirat. Perintah-perintah Allah itu merupakan tali penghubung (silah) antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dunia, yaitu hubungan penciptaan (shilatul khalq); sekaligus menjadi tali penghubung kehidupan dunia dengan kehidupan sesudah dunia (shilatul muhasabah). Dan pastilah hal ikhwal manusia terikat oleh tali penghubung ini. Karenanya manusia wajib berjalan dalam kehidupan ini sesuai dengan peraturan Allah dan wajib beri'tiqad bahwa ia diciptakan  oleh Allah, dan akan dihisab di hari kiamat atas segala perbuatannya di dunia.
            Dengan demikian telah terbentuklah pemikiran yang jernih tentang apa yang ada di balik kehidupan, alam semesta dan manusia. Serta telah terbentuk pula pemikiran yang jernih tentang alam sebelum dan alam sesudah dunia. Dan bahwasanya terdapat 'tali penghubung' antara dunia dengan kedua alam tersebut. Dengan demikian telah terurailah 'masalah besar'  itu  secara pasti kebenarannya dengan  aqidah Islamiyah.
            Apabila manusia telah berhasil memecahkan hal tadi ia dapat beralih memikirkan kehidupan dunia serta mewujudkan mafahim yang benar (terhadap dunia), yang dihasilkan dari pemikiran dasar tersebut. Pemecahan itu pula yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu prinsip ideologis kehidupan  (mabda') yang membentuk jalan menuju kebangkitan suatu kaum. Mabda itu pula yang akan menjadi  dasar bagi tumbuh kembangnya peradaban (hadloroh) suatu kaum. Juga menjadi dasar bagi peraturan-peraturan hidupnya, dan juga menjadi dasar untuk mendirikan negaranya. Dengan demikian dasar bagi berdirinya Islam, baik secara fikroh (ide dasar) maupun thoriqah (pola operasional/metode pelaksanaan) adalah aqidah Islam itu sendiri.
Allah SWT berfirman :

"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan siapa saja yang mengingkari Allah dan Malaikat-Nya dan Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya dan hari akhir maka ia telah sesat sejauh-jauhnya kesesatan" (QS An-Nisa 136)     

            Apabila semua ini (Iman kepada Allah, dst. tadi) telah terbukti kebenarannya, maka wajiblah bagi seluruh kaum muslimin untuk beriman juga kepada Syariat Islam (sebagaimana ia beriman kepada Aqidah Islam). Karena seluruh syariat ini telah tercantum dalam Al-Qur'an dan telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Apabila tidak beriman maka ia kufur. Oleh karena itu ingkarnya seseorang terhadap hukum-hukum syara secara keseluruhan atau sebagian darinya secara lebih terperinci, dapat menyebabkan ia menjadi kufur. Baik hukum-hukum itu berkaitan dengan ibadat, muamalah, uqubat (sanksi), ataupun math'umat (yang berkaitan dengan makanan).  Maka kufur terhadap ayat:

"Dirikanlah shalat..". sebenarnya sama saja kufur terhadap ayat "Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba"(QS Al-Baqarah 275).  Atau terhadap ayat :"Laki-laki  yang  mencuri  dan   perempuan  yang  mencuri potonglah tangan keduanya"(QS Al-Maidah 38). Atau ayat "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah" (QS Al-Maidah 3)

            Dengan  demikian, iman terhadap syari'at sebenarnya tidak berhenti pada akal semata, tetapi juga harus ada penyerahan mutlak terhadap segala yang datang dari sisi-Nya, sebagaimana firman Allah SWT:

"Maka demi Rabb-mu mereka itu (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima (pasrah) dengan sepenuhnya" (QS An-Nisa 65)

Kebangkitan Manusia        
            Bangkitnya  manusia  tergantung  dari pemikiran   (fikrah-nya) tentang kehidupan, alam semesta, dan manusia;  serta hubungan ketiganya ini dengan alam sebelum kehidupan dunia dan  alam setelah kehidupan dunia. Oleh karena itu harus ada perubahan yang mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini. Kemudian diganti dengan dengan pemikiran lain agar ia bangkit. Sebab pemikiranlah yang membentuk mafahim (pemahaman) terhadap segala sesuatu serta memperkuatnya. Dan manusia mengatur tingkah lakunya di dalam kehidupan ini sesuai dengan mafahimnya terhadap kehidupan. Sebagai contoh, mafahim seseorang terhadap orang yang ia cintai akan membentuk tingkah laku tertentu terhadapnya, yang berlawanan dengan tingkah lakunya terhadap orang yang ia benci dimana ia akan memiliki mafahim kebencian terhadapnya. Dan akan berlawanan pula terhadap orang yang tidak dikenalnya dimana ia tidak memiliki mafhum apapun terhadapnya. Jadi tingkah laku manusia berkaitan erat dengan mafahimnya. Oleh karena itu apabila kita hendak mengubah tingkah laku manusia yang rendah menjadi yang luhur maka tidak boleh tidak kita harus mengubah mafhumnya terlebih dahulu. AllAh SWT berfirman :

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah 'keadaan' suatu kaum sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka" (QS Ar-Ra'd : 11)

            Satu-satunya jalan untuk mengubah mafahim adalah dengan membentuk pemikiran tentang kehidupan dunia, agar dengannya dapat terwujud mafahim yang benar tentang kehidupan dunia. Akan tetapi pemikiran tentang kehidupan dunia ini tidak akan kuat terpusat hingga memberi hasil, kecuali jika terbentuk pemikiran tentang alam semesta, manusia dan kehidupan; tentang alam sebelum dan sesudah kehidupan dunia; dan tentang hubungan ketiga unsur tadi dengan kedua alam ini. Hal ini dapat dicapai dengan menyampaikan (kepada manusia-pen) pemikiran yang menyeluruh mengenai ketiga hal tersebut. Inilah yang merupakan pemecah simpul dalam 'masalah besar' (Uqdatul Kubro ) dalam diri manusia. Apabila masalah besar ini telah teruraikan, maka terurai pulalah masalah yang lainnya, sebab hanya merupakan bagian atau cabang dari masalah besar tadi. Namun pemecahan ini tidak akan mengantarkan kita kepada kebangkitan yang benar kecuali apabila pemecahan itu sendiri juga merupakan pemecahan yang benar. Yaitu pemecahan yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan memberikan ketenangan hati.
            Oleh karena itu bagi mereka yang menghendaki kebangkitan dan kehidupan berada diatas jalan yang mulia harus terlebih dahulu memecahkan masalah besar ini dengan pemecahan yang benar, yaitu melalui pemikiran yang jernih. Pemecahan inilah yang dinamakan 'aqidah', yang merupakan landasan berfikir bagi setiap pemikiran cabang yang berhubungan dengan perilaku serta tata aturan dalam kehidupan.
            Islam telah menangani 'masalah besar' ini. Dipecahkannya untuk manusia dengan pemecahan yang sesuai dengan fitrah, memuaskan akal serta memberikan ketenangan jiwa. Dan ditetapkan pula bahwasanya untuk memeluk agama Islam itu tergantung sepenuhnya pada pengakuan terhadap pemecahan ini. Yaitu dengan pengakuan yang betul-betul muncul dari akal. Oleh sebab itu Islam dibangun diatas satu dasar, yaitu aqidah, yang mengatakan bahwasanya dibalik alam semesta, manusia dan kehidupan terdapat Pencipta (Khaliq) yang telah menciptakan ketiganya, dan yang telah menciptakan pula segala sesuatu yang lainnya. Dialah Allah SWT. Aqidah yang mengatakan bahwasanya Pencipta ini telah menciptakan segala sesuatu dari tidak ada. Ia bersifat wajibul wujud (wajib adanya) -karena kalau tidak demikian maka ia tidak mampu menjadi Khaliq-, Ia bukan makhluk, karena sifat-Nya sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukan makhluk, serta memastikan pula bahwa Ia mutlak adanya. Karena segala sesuatu menyandarkan wujudnya kepada diri-Nya, sedangkan Ia tidak bersandar kepada sesuatu apapun.o

About Me

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.
twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail