Iman Kepada Malaikat
Iman
kepada malaikat berdasarkan dalil naqli,
sebab akal tidak pernah mampu menjangkau eksistensi/keberadaan Malaikat. Dalil
syara’ tentang adanya malaikat berasal dari ayat-ayat Al-Quran dan sunnah rasul
diantaranya adalah firman Allah SWT:
“Allah telah terangkan bahwasanya tidak ada ilah selain
Dia, Yang menegakkan keadilan dan disaksikan oleh para malaikat dan ahli-ahli
ilmu. Tidak ada Ilah selain Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana” (QS.
Ali-Imran : 18).
Kitab-kitab
yang berasal dari firman Allah SWT seluruhnya ada empat macam, yaitu Al-Quran
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Taurat yang diturunkan kepada Nabi
Musa a.s. Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud as. Dan Injil yang diturunkan
kepada hamba Allah dan Rasul-Nya, Nabi Isa A.s. Sementara itu firman Allah
dalam bentuk shuhuf, misalnya adalah apa yang dibenarkan kepada Nabi Ibrahim
a.s.
Beriman
terhadap kitab Allah mempunyai sandaran yang berasal dari pemahaman dalil aqli dan naqli. Adapun mengenai penjelasan dalil-dalil tersebut, maka
Al-Quran adalah kitab yang berbeda dengan kitab-kitab lainnya. Secara
faktual/nyata, Al-Quran merupakan suatu kenyataan yang bisa dijangkau panca
indera dan akal, dapat dipikirkan atau dibuktikan kebenarannya.
Tidak
demikian halnya dengan kitab samawi lainnya. Kitab tersebut faktanya sudah
tidak ada, sehingga akal sudah tidak mampu membahas dan membuktikan
kebenarannya (bahwa kitab iut berasal dari Allah). Sebab kitab-kitab tersebut
tidak mengandung mukjizat yang bisa dijangkau akal manusia (terutama manusia
pada zaman kini). Juga Nabi yang membawanya tidak menjadikannya (Taurat, Zabur,
dan Injil) sebagai bukti tentang kenabiannya. Walaupun demikian, kita wajib
meyakini kitab-kitab tersebut pernah diwahyukan kepada nabi-nabi dan
rasul-rasul terdahulu, baik yang diberitakan dalam Al-Quran maupun yang tidak
diberitakan.
Karena
itu, dalil keimanan terhadap kitab-kitab suci selain Al-Quran, adalah dalil naqli, yakni berdasarkan (ditunjukan)
oleh Al-Quran dan Hadist Rasul yag pasti, seperti firman Alah SWT :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab-kitab yang Allah telah turunkan
kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah telah turunkan sebelumnya. Siapa saja
yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan hari kiamat, maka sesungguhnya telah sesat
sejauh-jauhnya.” (Q. S. An-Nisaa : 136).
Iman Kepada Rasul
Beriman
kepada kenabian Muhammad SAW, dapat dibuktikan secara aqli dengan mukjizatnya yang abadi, yaitu Al-Quran. Ia adalah
Kalamullah, yang telah membungkam orang-orang kafir, terdiam tak mampu
menandingi atau mendatangkan satu surat saja semisal Al-Quran. Hal ini menjadi
dalil yang meyakinkan bahwa Muhammad SAW adalah seorang nabi dan rasul. Sebab,
suatu mukjizat hanya diberikan Allah kepada para nabi dan rasul. Allah SWT
berfirman :
“(Dan) jika kalian tetap meragukan Al-Quran
yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad SAW), maka buatlah satu surat
(saja) semisal Al-Quran dan ajaklah para penolong selain Allah, jika kalian
orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah : 23).
Disamping
kita percaya kepada kenabian dan kerasulan Muhammad SAW, kita wajib percaya
pula bahwa Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin
(penutup para nabi). Dikalangan ummat Islam sejak sahabat hingga kini, bahkan
sampai akhir jaman nanti wajib mentaati konsensus bahwa nabi dan rasul penutup
(akhir) adalah Muhammad SAW, sehingga tidak ada lagi nabi dan rasul sesudahnya
sampai hari kiamat. Konsensus ummat Islam mengenai hal ini adalah berdasarkan :
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari
seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah rasulullah dan penutup
nabi-nabi. Dan adalah Allah Mahatahu segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab : 40)
“Sesungguhnya risalah kenabian itu telah
habis. Maka tidak ada nabi dan rasul sesudahnya.” (Imam Ahmad bin Hambal
dari Anas bin Malik).
“Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan
nabi-nabi sebelumku adalah sama dengan seorang yang membuat sebuah rumah;
diperindah dan diperbagusnya (serta diselesaikan segala sesuatunya) kecuali
tempat (yang disiapkan) untuk sebuah batu bata di sudut rumah itu. Orang-orang
yang mengelilingi rumah itu mengaguminya, tetapi bertanya; “Mengapa engkau
belum memasang batu bata itu ? Nabi pun berkata ‘Sayalah batu bata (terakhir)
-sebagai penyempurna -itu, dan sayalah penutup para nabi’.” (Imam Bukhari,
Ahmad Ibnu Hibban dari Abi Hurairah).
Adapun
beriman kepada nabi dan rasul sebelum Muhammad SAW dengan dalil naqli. Al-Quran menjelaskan bahwa mereka
diutus oleh Allah dengan syari’at masing-masing. Namun diantara mereka tidak
ada perbedaan dalam hal menyeru kepada tauhid.
“...beriman kepada Allah, malaikat,
kitab, dan rasul yang tidak ada perbedaan satu dengan yang lainnya diantara
mereka.” (QS. Al-Baqarah : 285).
Iman Kepada Hari Akhir
Seorang
muslim beriman bahwa kehidupan di dunia akan musnah dan berakhir kemudian
berganti dengan kehidupan kedua di alam akhirat. Keyakinan terhadap alam
akhirat/hari kiamat ini merupakan bagian dari rukun iman (dasar-dasar
keimanan). Adapun bukti-bukti adanya hari kiamat, sekaligus dalil keimanannya,
berasal dari wahyu (ayat-ayat) Allah dan hadist Rasul. Dasar pemahamannya
berdasarkan dalil naqli, bukan dalil aqli. Sebab, hari kiamat adalah sesuatu
yang tidak terjangkau panca indera manusia, sehingga akal tidak mampu
menemukannya dengan pasti berdasarkan usaha pengindraan terhadap sesuatu. Tanpa
adanya berita tentang hari kiamat dari wahyu Allah, maka manusia tidak
mengetahui apakah ada atau tidak hari kebangkitan sesudah mati, serta bagaimana
bentuk kehidupan sesudah mati itu? Dalil-dalil naqli yang menjelaskan tentang hari kiamat tersebut diantaranya adalah
:
“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa
mereka sekali-kali tidak dibangkitkan. Katakanlah, Tidak demikian. Demi
Tuhanku, kalian benar-benar pasti dibangkitkan, kemudian akan diberikan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Hal demikian adalah mudah bagi Allah”.
(QS. At-taghaabun : 7).
Hadist
shohih, ketika jibril mengajarkan kepada Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Umar bin Khaththab :
“Ketika Jibril menanyakan kepada Rasulullah
tentang iman, maka Rasulullah menjawab : “Hendaklah engkau beriman kepada
Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, juga kepada hari
kiamat. Dan hendaklah engkau beriman kepada Qodar yang baik dan buruk (dari
Allah)”.
Qadar
Iman
kepada qadar/takdir merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap muslim, sebab hal
ini memiliki sandaran nash-nash Al-Quran yang pasti serta dijelaskan oleh
Rasulullah SAW dalam sunnahnya (Q. S. An-Naml : 57, At-Taubah :51, Al-Hadid :
22, dan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab; ketika
itu malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dan bertanya yang artinya
“Coba ceritakan apa iman itu ? Lalu
Rasululah menjawab : Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan percaya kepada takdir baik dan
buruknya berasal dari Allah SWT ”.
Iman
kepada takdir berbeda dengan iman kepada ‘Qadha dan Qadar’, ia bukan lahir dari
nash-nash syara’ secara langsung. Istilah ‘Qadha dan Qadar’, sebagai istilah
tertentu yang bermakna pula, tidak didapatkan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
Kalau kita kaji dari buku-buku hadist, kita tidak akan menemukan masalah ini
(qadha dan qadar). Kita hanya akan menemukan pembahasan taqdir (atau al-qadar
yang bermakna takdir). Misalnya dalam Shahih Bukhari hadist no. 6594-6620 dan
Shahih Muslim no. 2634-2664; yang merupakan bab khusus tentang masalah takdir.
Di dalam Al-Quran sendiri tidak ada istilah ‘Qadha dan Qadar’ yang digabungkan
itu dan keduanya hanya ditemukan terpisah.
Tiadanya
istilah qadha dan qadar (yang digabungkan, dan memiliki makna tertentu pula)
tersebut, karena memang masalah ini baru muncul pada masa tabi’in (setelah masa
shahabat), pada akhir abad pertama Hijriyah (awal abad kedua Hijriyah).
Seorang
muslim beriman dan yakin bahwa semua keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh
Allah SWT (karena memang Allah Maha Mengetahui segala sesuatu/bersifat Al-’Alim), baik kejadian yang telah
terjadi, sedang maupun yang akan terjadi. Kejadian apapun bentuknya telah
diketahui oleh Allah SWT dan dituliskan di Lauhul
Mahfuzh (kitab induk dan gambaran umum luasnya ilmu Allah SWT).
Inilah
pengertian sederhana dari takdir yang telah dijelaskan oleh Al-Quran dan hadist
Rasulullah SAW. Dengan kata lain takdir adalah catatan (ilmu Allah) yang
menyeluruh tentang segala sesuatu, semuanya telah tercatat/diketahui oleh Allah
SWT dan dituliskan di Lauhul Mahfuzh.
Adapun masalah ‘Qadha dan Qadar’ memerlukan penjelasan yang lain yang lebih
terperinci dan tidak diuraikan dalam makalah ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar